Sang Ketua OSIS - Masa Orientasi Siswa telah lewat hampir dua minggu yang lalu. Tapi aku masih saja dikenal dengan siswa yang tidak bisa menemukan Kak Gama. Padahal doi berdiri di depannya. Ibarat kata, artis di depan mata tidak terlihat. Intinya adalah aku ini cewek bodoh. Ditambah lagi ternyata cewek bodoh yang kuper.
Rasanya aku malu sekali, tapi masa bodoh. Sungguh. Aku memang sengaja mengasingkan diri dari pergaulan di sekolah. Meski teman-temanku lebih banyak tidak perduli pada latar belakangku. Tapi aku tidak akan sanggup jika harus ikut gaya mereka. Nongkrong setiap pulang sekolah. Entah dimana yang jelas di tempat asyik. Dan itu pasti mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Sementara aku, harus berhemat agar bisa berangkat sekolah keesokan harinya. Uang jajanku terbatas. Bahkan terkadang hanya cukup untuk ongkos angkot. Miris.
Namun, seperti kata Ayah. "Kamu harus ikhlas. Yang penting sekolahmu lancar. Bukan masalah jika kamu nggak bisa seperti teman-temanmu yang lain. Keadaan kita memang begini. Jangan malu karena ini!"
Satu-satunya hal yang masih sangat mengganggu adalah Kak Yohanes Gamalama seolah ada dimana pun aku berada. Ketika aku menenggelamkan diri di perpustakaan pada saat istirahat, dia di sana. Berusaha mengajakku mengobrol. Memang tidak banyak. Hanya seputar mengapa aku sering di sini? Mengapa aku tidak nongkrong bersama teman-teman di kantin saja? Atau sebuah ajakan seperti kali ini,
"Nanti pulang sekolah, jalan-jalan dulu yuk!" ajak Kak Gama.
Dia pikir aku banyak uang apa? Kalau pun iya, aku tidak akan membuang uang hanya untuk kegiatan yang tidak penting begitu. Dan aku pun menolak.
Tak putus asa, saat pulang sekolah dia berkumpul dengan teman-temannya di dekat gerbang sekolah. Jalan tempatku biasa menunggu angkot.
"Itu kenapa Kak Gama dan teman-temannya malah nongkrong di sana?" tanya Eka yang memang biasa pulang bersamaku.
"Mana ku tahu, Ka. Suka-suka mereka jugalah mau nongkrong dimana saja," jawabku sambil terus menggandengnya mendekati gerombolan Kak Gama dan kawan-kawannya.
Kak Gama hanya memperhatikanku. Dia tidak menyapaku. Bagus juga pikirku. Karena aku juga tidak ingin berpura-pura menyapanya. Saat angkot datang, aku dan Eka bergegas naik. Aku bisa melihat pandangan Kak Gama terus saja mengikuti kami sampai dengan angkot kami telah beranjak menjauh.
"Akhir-akhir ini dia sering nyamperin kamu di perpustakaan ya?" tanya Eka. Aku tahu siapa yang dia maksud. Tapi aku menolak menanggapi. Buat apa? Bagiku perpustakaan itu tempat umum untuk semua siswa. Siapa pun berhak masuk ke sana. Termasuk Kak Gama. Dan itu tidak berarti ada seorang yang ingin dia ikuti. Sekali pun, beberapa kali dia mencoba mengajakku berbincang di sana.
***
Aku ditawari menjadi anggota OSIS. Bukan hal yang menyenangkan bagiku. Karena itu artinya akan ada masa aku harus pulang sore karena hal-hal yang berkaitan dengan urusan OSIS. Aku tidak mengkhawatirkan rasa lelahnya yang mungkin akan semakin bertambah. Tapi, aku mencemaskan transportasiku untuk pulang. Angkot yang melewati rumahku semakin sulit ditemukan jika sore hari.
Seperti hari itu, ketika aku baru saja selesai mengikuti rapat OSIS terkait pemilihan Ketua OSIS baru. Hari sudah menjelang sore. Aku sudah berdiri selama setengah jam di tempat biasa aku menunggu angkot. Tapi, tidak ada satu pun kendaraan yang bisa ku ikuti untuk sampai ke rumah. Aku sedikit panik. Tidak. Aku mulai sangat panik. Bagaimana jika sampai malam hari aku tidak juga menemukan angkot? Andai saja di tempatku ini sudah ada transportasi online. Aku pasti akan memilih untuk menggunakan itu sejak tadi. Sayangnya, di kota kami belum ada.
Apa yang harus ku lakukan?
Saat aku mulai putus asa, sebuah motor berhenti di hadapanku. Kak Gama. Apakah dia akan mengijinkanku ikut dengannya? Tapi rumahnya tidak searah dengan tempat tinggalku.
"Mau ku antar pulang?" tanya Kak Gama setelah melepaskan helmnya.
Aku menatapnya penuh keraguan. Aku bimbang, apakah harus ikut pulang bersamanya atau tidak.
"Hari sudah sore, Rin. Angkot ke rumahmu pasti sudah nggak ada lagi. Jangan keras kepala dan ayo naik. Ku antar pulang," paksanya.
Aku tidak punya pilihan lain. Pulang bersamanya atau aku tidak bisa pulang sama sekali. Memangnya aku akan tidur dimana nanti malam? Aku tidak punya sanak saudara di daerah ini. Menggembel di emperan toko? Hanya memikirkannya saja aku sudah bergidik ngeri.
Masa bodoh dengan arah tempat tinggal kami yang berdeda. Toh dia yang menawarkan untuk mengantarku pulang. Jadi sepertinya nggak masalah jika dia kerepotan hari ini.
Sejak saat itu, setiap ada rapat OSIS yang mengharuskanku pulang sore, aku akan diantar olehnya. Meski di perjalanan, tidak ada percakapan yang berarti. Dia hanya akan mengantarku sampai rumah dan langsung putar arah setelah aku turun dari boncengannya. Aku tidak pernah sempat memintanya mampir. Meski aku tidak yakin dia akan bersedia mampir.
***
Aku tidak pernah menceritakan pada siapa pun tentang kegiatan rutin Kak Gama mengantarku pulang ketika aku pulang sore. Bahkan pada Eka. Aku tetap berusaha menjadi tidak terlihat di sekolah ini. Semacam makhluk invisible. Tetap menjadi Marinka yang introvert dan kuper meski beberapa kali terlibat dalam urusan OSIS. Hal itu tidak lantas membuatku menjadi supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Dan satu hal yang pasti. Keinginanku tetap sama. Menyelesaikan sekolah ini dengan aman dan tenang. Tanpa terlibat dengan segala tetek-bengek urusan pacaran.
Meski katanya masa SMA adalah masa yang akan memberi kesan sepanjang masa. Aku tetap tidak akan memberi kesempatan kesan tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan virus merah jambu itu. Cukuplah, Sang Ketua OSIS yang selalu mengantarku pulang ketika aku pulang sore dan tidak mendapatkan angkot yang akan ku kenang pada indahnya masa SMA. Jangan ada hal lebih lainnya.
Sedangkan Kak Gama. Dia masih menjadi salah satu idola sekolah. Masih menjadi pujaan banyak siswi. Entah itu dari yang satu angkatan dengannya, kakak kelas mau pun adik-adik kelas.
"Rin, kalau kamu ada rapat OSIS kan pulang sore tu. Nggak susah angkot?" tanya Eka bertanya suatu ketika.
"Susah sih. Tapi ya gitulah. Aku akhirnya bisa pulang juga kok, Ka," jawabku tanpa minat ingin bercerita lebih banyak.
"Kak Gama nggak ada niat nganterin kamu pulang?" tanya Eka lagi.
Keningku berkerut. Apa Eka menyadari sesuatu? Dia nggak mungkin tahu 'kan kalau aku sering dianterin pulang sama Kak Gama?
"Ku pikir Kak Gama suka sama kamu. Dia 'kan juga Ketua OSIS. Masa iya nggak berusaha nganterin kamu?" lanjut Eka menyadari kerutan di keningku.
"Jangan ngaco! Dari mana juga pemikiran kalau Kak Gama suka sama aku? Memang aku siapa? Kalau aku ini cover girl majalah remaja sih wajar Kak Gama suka. Lha aku cuma Marinka, siswi yang masuk sekolah ini karena beasiswa, Ka. Yang ada malah bikin malu Kak Gama akunya," terangku panjang lebar.
Eka berdecih. Dia harusnya mengetahui kalau sahabatnya adalah orang paling suka minder sendiri jika berurusan dengan lawan jenis. Bukannya selalu berkata kalau ada seorang yang menyukaiku. Pada kenyataannya, aku memang bukan seorang yang pantas berhubungan dengan Sang Ketua OSIS.
[To Be Continue]
With Love
Sumber : https://www.idntimes.com/life/relationship/stella/10-suka-duka-pacaran-naik-motor-ini-pasti-pernah-kamu-rasakan/full |
Rasanya aku malu sekali, tapi masa bodoh. Sungguh. Aku memang sengaja mengasingkan diri dari pergaulan di sekolah. Meski teman-temanku lebih banyak tidak perduli pada latar belakangku. Tapi aku tidak akan sanggup jika harus ikut gaya mereka. Nongkrong setiap pulang sekolah. Entah dimana yang jelas di tempat asyik. Dan itu pasti mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Sementara aku, harus berhemat agar bisa berangkat sekolah keesokan harinya. Uang jajanku terbatas. Bahkan terkadang hanya cukup untuk ongkos angkot. Miris.
Namun, seperti kata Ayah. "Kamu harus ikhlas. Yang penting sekolahmu lancar. Bukan masalah jika kamu nggak bisa seperti teman-temanmu yang lain. Keadaan kita memang begini. Jangan malu karena ini!"
Satu-satunya hal yang masih sangat mengganggu adalah Kak Yohanes Gamalama seolah ada dimana pun aku berada. Ketika aku menenggelamkan diri di perpustakaan pada saat istirahat, dia di sana. Berusaha mengajakku mengobrol. Memang tidak banyak. Hanya seputar mengapa aku sering di sini? Mengapa aku tidak nongkrong bersama teman-teman di kantin saja? Atau sebuah ajakan seperti kali ini,
"Nanti pulang sekolah, jalan-jalan dulu yuk!" ajak Kak Gama.
Dia pikir aku banyak uang apa? Kalau pun iya, aku tidak akan membuang uang hanya untuk kegiatan yang tidak penting begitu. Dan aku pun menolak.
Tak putus asa, saat pulang sekolah dia berkumpul dengan teman-temannya di dekat gerbang sekolah. Jalan tempatku biasa menunggu angkot.
"Itu kenapa Kak Gama dan teman-temannya malah nongkrong di sana?" tanya Eka yang memang biasa pulang bersamaku.
"Mana ku tahu, Ka. Suka-suka mereka jugalah mau nongkrong dimana saja," jawabku sambil terus menggandengnya mendekati gerombolan Kak Gama dan kawan-kawannya.
Kak Gama hanya memperhatikanku. Dia tidak menyapaku. Bagus juga pikirku. Karena aku juga tidak ingin berpura-pura menyapanya. Saat angkot datang, aku dan Eka bergegas naik. Aku bisa melihat pandangan Kak Gama terus saja mengikuti kami sampai dengan angkot kami telah beranjak menjauh.
"Akhir-akhir ini dia sering nyamperin kamu di perpustakaan ya?" tanya Eka. Aku tahu siapa yang dia maksud. Tapi aku menolak menanggapi. Buat apa? Bagiku perpustakaan itu tempat umum untuk semua siswa. Siapa pun berhak masuk ke sana. Termasuk Kak Gama. Dan itu tidak berarti ada seorang yang ingin dia ikuti. Sekali pun, beberapa kali dia mencoba mengajakku berbincang di sana.
***
Aku ditawari menjadi anggota OSIS. Bukan hal yang menyenangkan bagiku. Karena itu artinya akan ada masa aku harus pulang sore karena hal-hal yang berkaitan dengan urusan OSIS. Aku tidak mengkhawatirkan rasa lelahnya yang mungkin akan semakin bertambah. Tapi, aku mencemaskan transportasiku untuk pulang. Angkot yang melewati rumahku semakin sulit ditemukan jika sore hari.
Seperti hari itu, ketika aku baru saja selesai mengikuti rapat OSIS terkait pemilihan Ketua OSIS baru. Hari sudah menjelang sore. Aku sudah berdiri selama setengah jam di tempat biasa aku menunggu angkot. Tapi, tidak ada satu pun kendaraan yang bisa ku ikuti untuk sampai ke rumah. Aku sedikit panik. Tidak. Aku mulai sangat panik. Bagaimana jika sampai malam hari aku tidak juga menemukan angkot? Andai saja di tempatku ini sudah ada transportasi online. Aku pasti akan memilih untuk menggunakan itu sejak tadi. Sayangnya, di kota kami belum ada.
Apa yang harus ku lakukan?
Saat aku mulai putus asa, sebuah motor berhenti di hadapanku. Kak Gama. Apakah dia akan mengijinkanku ikut dengannya? Tapi rumahnya tidak searah dengan tempat tinggalku.
"Mau ku antar pulang?" tanya Kak Gama setelah melepaskan helmnya.
Aku menatapnya penuh keraguan. Aku bimbang, apakah harus ikut pulang bersamanya atau tidak.
"Hari sudah sore, Rin. Angkot ke rumahmu pasti sudah nggak ada lagi. Jangan keras kepala dan ayo naik. Ku antar pulang," paksanya.
Aku tidak punya pilihan lain. Pulang bersamanya atau aku tidak bisa pulang sama sekali. Memangnya aku akan tidur dimana nanti malam? Aku tidak punya sanak saudara di daerah ini. Menggembel di emperan toko? Hanya memikirkannya saja aku sudah bergidik ngeri.
Masa bodoh dengan arah tempat tinggal kami yang berdeda. Toh dia yang menawarkan untuk mengantarku pulang. Jadi sepertinya nggak masalah jika dia kerepotan hari ini.
Sejak saat itu, setiap ada rapat OSIS yang mengharuskanku pulang sore, aku akan diantar olehnya. Meski di perjalanan, tidak ada percakapan yang berarti. Dia hanya akan mengantarku sampai rumah dan langsung putar arah setelah aku turun dari boncengannya. Aku tidak pernah sempat memintanya mampir. Meski aku tidak yakin dia akan bersedia mampir.
***
Aku tidak pernah menceritakan pada siapa pun tentang kegiatan rutin Kak Gama mengantarku pulang ketika aku pulang sore. Bahkan pada Eka. Aku tetap berusaha menjadi tidak terlihat di sekolah ini. Semacam makhluk invisible. Tetap menjadi Marinka yang introvert dan kuper meski beberapa kali terlibat dalam urusan OSIS. Hal itu tidak lantas membuatku menjadi supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Dan satu hal yang pasti. Keinginanku tetap sama. Menyelesaikan sekolah ini dengan aman dan tenang. Tanpa terlibat dengan segala tetek-bengek urusan pacaran.
Meski katanya masa SMA adalah masa yang akan memberi kesan sepanjang masa. Aku tetap tidak akan memberi kesempatan kesan tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan virus merah jambu itu. Cukuplah, Sang Ketua OSIS yang selalu mengantarku pulang ketika aku pulang sore dan tidak mendapatkan angkot yang akan ku kenang pada indahnya masa SMA. Jangan ada hal lebih lainnya.
Sedangkan Kak Gama. Dia masih menjadi salah satu idola sekolah. Masih menjadi pujaan banyak siswi. Entah itu dari yang satu angkatan dengannya, kakak kelas mau pun adik-adik kelas.
"Rin, kalau kamu ada rapat OSIS kan pulang sore tu. Nggak susah angkot?" tanya Eka bertanya suatu ketika.
"Susah sih. Tapi ya gitulah. Aku akhirnya bisa pulang juga kok, Ka," jawabku tanpa minat ingin bercerita lebih banyak.
"Kak Gama nggak ada niat nganterin kamu pulang?" tanya Eka lagi.
Keningku berkerut. Apa Eka menyadari sesuatu? Dia nggak mungkin tahu 'kan kalau aku sering dianterin pulang sama Kak Gama?
"Ku pikir Kak Gama suka sama kamu. Dia 'kan juga Ketua OSIS. Masa iya nggak berusaha nganterin kamu?" lanjut Eka menyadari kerutan di keningku.
"Jangan ngaco! Dari mana juga pemikiran kalau Kak Gama suka sama aku? Memang aku siapa? Kalau aku ini cover girl majalah remaja sih wajar Kak Gama suka. Lha aku cuma Marinka, siswi yang masuk sekolah ini karena beasiswa, Ka. Yang ada malah bikin malu Kak Gama akunya," terangku panjang lebar.
Eka berdecih. Dia harusnya mengetahui kalau sahabatnya adalah orang paling suka minder sendiri jika berurusan dengan lawan jenis. Bukannya selalu berkata kalau ada seorang yang menyukaiku. Pada kenyataannya, aku memang bukan seorang yang pantas berhubungan dengan Sang Ketua OSIS.
[To Be Continue]
With Love
11 Komentar
Semakin seru dan bikin penasaran nih. Nungguin lanjutannya aahh. Keren Mbak Yuni, bikin penasaran dan baper aja nih hahaha.
BalasHapusYaah...lagi asyik-asyiknya baca, kok udahan? wkwkwk
BalasHapusAduh beneran penasaran kisah Gama dan Marinka selanjutnya. Bener-bener menggambarkan suasana waktu putih abu dulu
huwaaa makin seruu mbaaak. Btw cerita yang ini agak mirip dengan ceritaku pas sekolah dulu wkwkwk >.<
BalasHapusGa sabar nunggu lanjutannyaa
Kok aku jadi inget jaman putih abu-abu baca ini ya haha. Seru mbak Yuni kusukaaa! Lanjutkeun segera yaa!
BalasHapusKak GAMA hebat juga ya pendekatannya, gak langsung nembak tapi slow but sure hehehe
BalasHapusEh jieeeh...ada romansa pas SMA. Seru niiih….Pengalaman pribadi kah? wkwkwk...
BalasHapuskepo aku tuh, jadi akhirnya sama gama enggak? haha. jadi inget masa-masa SMA ini mah, kuy lanjutkaan ku kepo haha.
BalasHapusMasa SMA selalu penuh cerita ya, banyak kenangan yang rasa-rasanya nggak jauh beda sama cerpen ini, hehe..Jadi nostalgia
BalasHapusWiih makin seru nih ceritanya. Bakalan jadi kayak Galih dan Ratna atau Dilan dan Milea nggak ya? Hehehe lanjouut mba Yuni.. keren!
BalasHapusWooooow.. Cerita nya ngeri-ngeri syedap gitu ya. Jadi penasaran, akhirnya gimana inih?
BalasHapusCie cieee masa SMA masa yg gak terlupa ya mba. Duh ceritanya seruuu eh to be continue...ditggu ya kelanjutannya...
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.