Masa Orientasi Siswa Flash Back
Hari itu aku mengikuti MOS di SMAN 01 kota ini. Sendirian. Itulah yang pertama kali ku rasakan ketika melangkahkan kaki melewati gerbang sekolah. Teman-teman SMP ku tidak ada yang memilih sekolah ini untuk study mereka.
Alasan pertama : Sekolah ini adalah sekolah favorit. Hanya siswa dengan nilai bagus yang bisa mendaftarkan diri. Sementara siswa SMP ku, bisa lulus saja sudah menjadi keuntungan bagi mereka.
Alasan kedua : seperti ada peraturan tidak tertulis, siswa yang sekolah di sini kebanyakan atau hampir semua adalah anak orang kaya. Biaya gedungnya tinggi. Tak perduli berapa nilaimu, jika orang tuamu mampu membayar lebih, maka kamu boleh masuk. Semacam itu.
Lalu, bagaimana caraku masuk sekolah ini? Aku memang mendapat nilai tertinggi se SMP ku. Tapi rasanya, itu saja tidak cukup membuatku mampu bersaing untuk bisa masuk sekolah ini. Apalagi orang tuaku hanya buruh tani. Mereka jelas tidak sanggup membayar biayanya. Satu-satunya cara adalah melalui program beasiswa dari SMPku itu. Katanya untuk prestasiku menjadi peraih nilai tertinggi.
Jadilah hanya aku yang berada di sini. Berdiri terpaku di depan sebuah majalah dinding sekolah. Tanpa kenalan apalagi saudara. Tapi tidak mengapa. Kalau tidak terlalu mencolok, aku pasti bisa melalui tahun-tahunku di sini dengan tenang. Aku juga tidak perlu bergaul terlalu dekat dengan anak-anak orang kaya ini.
Aku mencari namaku di pembagian ruangan peserta MOS yang telah ditempel di mading. Namaku berada di gugus cemara. Ruang kelas 2 C. Tentu, tidak sulit mencari ruangan itu. Masing-masing kelas sudah diberi label yang digantung di atas pintu. Mudah saja menemukannya.
"Hey, kenalkan. Namaku Eka," kata seorang cewek yang menghampiriku. Dia mengenakan seragam putih-birunya. Berarti dia juga anak baru. Kami berpapasan di depan pintu.
"Namaku Marinka," jawabku.
Kami saling melempar senyum lalu masuk ke kelas. Ternyata sudah ada nama yang tertempel di meja. Aku menemukan namaku di deretan bangku no 2. Sementara Eka berada di belakangku. Kebetulan yang menarik.
***
Seperti MOS pada umumnya, di sini juga ada materi dan pengakraban dengan senior. Ketika materi berlangsung para anggota OSIS menyingkir dari kelas. Namun ketika pengakraban, mereka masuk dan mengisi waktu.
Kami diminta mengenalkan diri di depan kelas. Oke, ini masih hal wajar. Hingga tiba giliranku ke depan.
"Selamat pagi teman-teman. Nama saya Marinka. Saya dari SMPN Pustaka. Salam kenal," kataku mengenalkan diri.
Ku pikir, aku akan diminta duduk kembali ke bangkuku. Namun, seorang kakak OSIS berparas tampan mendekatiku.
"Kenapa tidak mengenakan ikat pinggang?" tanya kakak OSIS yang belum ku ketahui namanya. Tidak ada nametag. Ku pikir mereka sengaja ingin sok misterius.
Aku tidak terbiasa mengenakan ikat pinggang, Kak. Rok ini juga rasanya sudah sangat sempit di perutku, jawabku. Tentu saja hanya dalam hati. Mana berani aku menjawab kakak OSIS. Aku merapalkan doa berharap tidak mendapat hukuman apa pun.
"Kamu tahu, mengenakan ikat pinggang itu salah satu kewajiban di sekolah ini. Kamu belum baca peraturannya?" tanya dia lagi.
Kakak ini tampan. Meski aku bisa saja diam-diam menyukainya tapi kalau dia segalak ini, kok aku jadi takut.
"Kamu cari kakak OSIS yang namanya Kak Yohanes Gamalama. Kamu minta tanda tangannya!"
Aku syok mendengar perintah itu. Duh, bagaimana aku tahu yang namanya Kak Yohanes Gamalama itu yang mana? Lagi pula, rasanya sejak tadi bukan aku saja yang tidak mengenakan ikat pinggang, kenapa hanya aku yang diberi hukuman.
Tidak adil. Aku ingin protes tapi tak punya keberanian.
"Tunggu apa lagi, kamu bisa mulai bertanya pada kakak OSIS yang ada di ruangan ini!" perintahnya tegas.
Rasanya aku malu. Bagaimana caraku bertanya. Maka, aku melangkah takut-takut ke meja guru. Di sana sudah ada beberapa kakak OSIS. Salah satunya adalah cowok. Siapa tahu saja dia.
"Kak, Kak Yohanes Gamalama yang mana?" tanyaku gemetaran.
Acara perkenalan siswa baru terputus karena hukumanku. Tidak ada yang diminta melanjutkan.
"Oh nama saya Kak Dedi. Lihatkan nametag kakak. Dedi Fahrizal," jawabnya sembari menunjukkan nametagnya.
Benar. Namanya bukan Yohanes Gamalama. Maka aku mendekati kakak OSIS yang memberiku hukuman. Kakak OSIS tanpa nametag di dadanya.
"Kak, saya akan mencari ke kelas lain!" pamitku.
"Silahkan!" jawabnya acuh.
Aku meninggalkan kelas itu. Bagaimana aku akan mencari ke kelas lain? Akan sangat memalukan bagiku, mengetuk pintu dan menjadi perhatian teman-teman satu kelas. Duh, mau ditaruh dimana mukaku. Jadilah aku memilih jalan lurus menuju toilet. Bersembunyi di sana, berharap waktu materi segera dimulai, tanpa aku harus menyelesaikan hukumanku.
***
Ada saatnya perkenalan kakak OSIS. Dan itu setelah aku dihukum meski pada akhirnya aku tidak menyelesaikan hukuman itu. Yang lebih membuat malu adalah Kak Yohanes Gamalama ternyata kakak OSIS yang memberiku hukuman. Dia mengenalkan diri dan jabatannya sebagai ketua OSIS sembari melempariku senyuman. Ku pikir itu senyuman mengejek. Belum lagi perkataannya,
"Dek Marinka mencariku kemana-mana padahal aku tepat berada di depannya," katanya disambut senyum oleh para peserta OSIS yang berada di sana.
Perkataan itu membuat semua siswa baru melirikku. Andai bukan dalam Masa Orientasi Siswa, aku yakin mereka akan terang-terangan memberiku tatapan mengejek. Mereka akan berpikir, aku siswa kuper.
Ya mana aku tahu kalau ternyata dia adalah orang yang ku cari. Dia juga tidak mengenakan nametagnya. Sebenarnya aku kesal. Dia menghukumku karena katanya aku tidak menaati salah satu peraturan. Aku tidak mengenakan ikat pinggang. Lalu dia? Apakah nametag tidak termasuk dalam peraturan sekolah. Andai saja aku berani protes. Sayangnya aku nggak berani. Aku kan malu.
Saat itu aku bertekad, tak ingin mencari gara-gara dengannya. Lagi pula aku tidak harus berurusan dengan Kak Gama setelah ini. Tidak akan.
"Jadi, kamu disuruh cari orang yang nyuruh kamu, Mar," bisik Eka dari bangku di belakangku.
Aku jadi berpikir kenapa aku tidak bertany namanya terlebih dahulu tadi? Aku tidak harus sembunyi di toilet. Jawabannya adalah karena aku sudah berpikir bahwa dia pasti menyuruhku mencari orang lain. Dia hanya ingin membuat repot siswa baru. Memang apa lagi. Tapi ternyata aku salah.
Dan aku juga salah menduga dengan hal lain yang terjadi setelah MOS selesai. Aku boleh saja bertekad ini dan itu. Ingin menyelesaikan tahun-tahunku di SMA dengan tenang tanpa terlibat masalah apa pun. Namun, aku melupakan kalau pihak lawan juga berhak bertindak semau mereka. Aku tidak berhak melarang. Mungkin melayangkan protes saja.
Kali ini lawanku adalah Sang Ketua OSIS. Apa saja yang terjadi?
To Be Continue
Hari itu aku mengikuti MOS di SMAN 01 kota ini. Sendirian. Itulah yang pertama kali ku rasakan ketika melangkahkan kaki melewati gerbang sekolah. Teman-teman SMP ku tidak ada yang memilih sekolah ini untuk study mereka.
Alasan pertama : Sekolah ini adalah sekolah favorit. Hanya siswa dengan nilai bagus yang bisa mendaftarkan diri. Sementara siswa SMP ku, bisa lulus saja sudah menjadi keuntungan bagi mereka.
Alasan kedua : seperti ada peraturan tidak tertulis, siswa yang sekolah di sini kebanyakan atau hampir semua adalah anak orang kaya. Biaya gedungnya tinggi. Tak perduli berapa nilaimu, jika orang tuamu mampu membayar lebih, maka kamu boleh masuk. Semacam itu.
Lalu, bagaimana caraku masuk sekolah ini? Aku memang mendapat nilai tertinggi se SMP ku. Tapi rasanya, itu saja tidak cukup membuatku mampu bersaing untuk bisa masuk sekolah ini. Apalagi orang tuaku hanya buruh tani. Mereka jelas tidak sanggup membayar biayanya. Satu-satunya cara adalah melalui program beasiswa dari SMPku itu. Katanya untuk prestasiku menjadi peraih nilai tertinggi.
Jadilah hanya aku yang berada di sini. Berdiri terpaku di depan sebuah majalah dinding sekolah. Tanpa kenalan apalagi saudara. Tapi tidak mengapa. Kalau tidak terlalu mencolok, aku pasti bisa melalui tahun-tahunku di sini dengan tenang. Aku juga tidak perlu bergaul terlalu dekat dengan anak-anak orang kaya ini.
Aku mencari namaku di pembagian ruangan peserta MOS yang telah ditempel di mading. Namaku berada di gugus cemara. Ruang kelas 2 C. Tentu, tidak sulit mencari ruangan itu. Masing-masing kelas sudah diberi label yang digantung di atas pintu. Mudah saja menemukannya.
"Hey, kenalkan. Namaku Eka," kata seorang cewek yang menghampiriku. Dia mengenakan seragam putih-birunya. Berarti dia juga anak baru. Kami berpapasan di depan pintu.
"Namaku Marinka," jawabku.
Kami saling melempar senyum lalu masuk ke kelas. Ternyata sudah ada nama yang tertempel di meja. Aku menemukan namaku di deretan bangku no 2. Sementara Eka berada di belakangku. Kebetulan yang menarik.
***
Seperti MOS pada umumnya, di sini juga ada materi dan pengakraban dengan senior. Ketika materi berlangsung para anggota OSIS menyingkir dari kelas. Namun ketika pengakraban, mereka masuk dan mengisi waktu.
Kami diminta mengenalkan diri di depan kelas. Oke, ini masih hal wajar. Hingga tiba giliranku ke depan.
"Selamat pagi teman-teman. Nama saya Marinka. Saya dari SMPN Pustaka. Salam kenal," kataku mengenalkan diri.
Ku pikir, aku akan diminta duduk kembali ke bangkuku. Namun, seorang kakak OSIS berparas tampan mendekatiku.
"Kenapa tidak mengenakan ikat pinggang?" tanya kakak OSIS yang belum ku ketahui namanya. Tidak ada nametag. Ku pikir mereka sengaja ingin sok misterius.
Aku tidak terbiasa mengenakan ikat pinggang, Kak. Rok ini juga rasanya sudah sangat sempit di perutku, jawabku. Tentu saja hanya dalam hati. Mana berani aku menjawab kakak OSIS. Aku merapalkan doa berharap tidak mendapat hukuman apa pun.
"Kamu tahu, mengenakan ikat pinggang itu salah satu kewajiban di sekolah ini. Kamu belum baca peraturannya?" tanya dia lagi.
Kakak ini tampan. Meski aku bisa saja diam-diam menyukainya tapi kalau dia segalak ini, kok aku jadi takut.
"Kamu cari kakak OSIS yang namanya Kak Yohanes Gamalama. Kamu minta tanda tangannya!"
Aku syok mendengar perintah itu. Duh, bagaimana aku tahu yang namanya Kak Yohanes Gamalama itu yang mana? Lagi pula, rasanya sejak tadi bukan aku saja yang tidak mengenakan ikat pinggang, kenapa hanya aku yang diberi hukuman.
Tidak adil. Aku ingin protes tapi tak punya keberanian.
"Tunggu apa lagi, kamu bisa mulai bertanya pada kakak OSIS yang ada di ruangan ini!" perintahnya tegas.
Rasanya aku malu. Bagaimana caraku bertanya. Maka, aku melangkah takut-takut ke meja guru. Di sana sudah ada beberapa kakak OSIS. Salah satunya adalah cowok. Siapa tahu saja dia.
"Kak, Kak Yohanes Gamalama yang mana?" tanyaku gemetaran.
Acara perkenalan siswa baru terputus karena hukumanku. Tidak ada yang diminta melanjutkan.
"Oh nama saya Kak Dedi. Lihatkan nametag kakak. Dedi Fahrizal," jawabnya sembari menunjukkan nametagnya.
Benar. Namanya bukan Yohanes Gamalama. Maka aku mendekati kakak OSIS yang memberiku hukuman. Kakak OSIS tanpa nametag di dadanya.
"Kak, saya akan mencari ke kelas lain!" pamitku.
"Silahkan!" jawabnya acuh.
Aku meninggalkan kelas itu. Bagaimana aku akan mencari ke kelas lain? Akan sangat memalukan bagiku, mengetuk pintu dan menjadi perhatian teman-teman satu kelas. Duh, mau ditaruh dimana mukaku. Jadilah aku memilih jalan lurus menuju toilet. Bersembunyi di sana, berharap waktu materi segera dimulai, tanpa aku harus menyelesaikan hukumanku.
***
Ada saatnya perkenalan kakak OSIS. Dan itu setelah aku dihukum meski pada akhirnya aku tidak menyelesaikan hukuman itu. Yang lebih membuat malu adalah Kak Yohanes Gamalama ternyata kakak OSIS yang memberiku hukuman. Dia mengenalkan diri dan jabatannya sebagai ketua OSIS sembari melempariku senyuman. Ku pikir itu senyuman mengejek. Belum lagi perkataannya,
"Dek Marinka mencariku kemana-mana padahal aku tepat berada di depannya," katanya disambut senyum oleh para peserta OSIS yang berada di sana.
Perkataan itu membuat semua siswa baru melirikku. Andai bukan dalam Masa Orientasi Siswa, aku yakin mereka akan terang-terangan memberiku tatapan mengejek. Mereka akan berpikir, aku siswa kuper.
Ya mana aku tahu kalau ternyata dia adalah orang yang ku cari. Dia juga tidak mengenakan nametagnya. Sebenarnya aku kesal. Dia menghukumku karena katanya aku tidak menaati salah satu peraturan. Aku tidak mengenakan ikat pinggang. Lalu dia? Apakah nametag tidak termasuk dalam peraturan sekolah. Andai saja aku berani protes. Sayangnya aku nggak berani. Aku kan malu.
Saat itu aku bertekad, tak ingin mencari gara-gara dengannya. Lagi pula aku tidak harus berurusan dengan Kak Gama setelah ini. Tidak akan.
"Jadi, kamu disuruh cari orang yang nyuruh kamu, Mar," bisik Eka dari bangku di belakangku.
Aku jadi berpikir kenapa aku tidak bertany namanya terlebih dahulu tadi? Aku tidak harus sembunyi di toilet. Jawabannya adalah karena aku sudah berpikir bahwa dia pasti menyuruhku mencari orang lain. Dia hanya ingin membuat repot siswa baru. Memang apa lagi. Tapi ternyata aku salah.
Dan aku juga salah menduga dengan hal lain yang terjadi setelah MOS selesai. Aku boleh saja bertekad ini dan itu. Ingin menyelesaikan tahun-tahunku di SMA dengan tenang tanpa terlibat masalah apa pun. Namun, aku melupakan kalau pihak lawan juga berhak bertindak semau mereka. Aku tidak berhak melarang. Mungkin melayangkan protes saja.
Kali ini lawanku adalah Sang Ketua OSIS. Apa saja yang terjadi?
To Be Continue
14 Komentar
Cerita Lika liku tentang MOS yang kadang bikin spot jantung, salah duga...tapi sebenarnya seru lho apalagi kalau kita pernah dibikin nangis oleh senior hahahah.....nunggu kelanjutannya
BalasHapusBetul banget, Mbak. Hehehe
Hapuswakakaka kakak osis, jadi kangen pengen ngulang sma. ditunggu cerita selanjutnya ya, penasaran deh.
BalasHapusSeru-seru bikin gemes ya Mbak Sera? Hehehe
HapusSuka ceritanya kak
BalasHapusTerima kasih.
HapusWalaupun sudah emak2, saya suka juga cerita tentang school life kayak gini. Sekalian nostalgia, hehe. Penasaran nih dg Marinka. Kayaknya bakalan jadian dg sang ketua OSIS deh ;)
BalasHapusSchool life is never end ya mBak.
HapusScroll ke bawah, eh abis toh. Walah, padahal sudah ada di atas tulisannya cerita bersambung. Saking asyiknya baca jadi lupa. Bagus mbak cerbungnya!
BalasHapusSabar. Nanti ada lagi kok lanjutannya. Hehehe
HapusHalo Marinka, hehe. Ya ampun mbak, aku bacanya rada menggelitik, karena jadi ingat masa2 skolah dulu, apalagi pas MOS yang bikin dag dig dug. Lanjut yuk cerita ketua OSISnya ini xixi :))
BalasHapusCiyeh, punya pengalaman pribadi ya Mbak. Hehehe
HapusHehm.., bener-bener deh, jadi ingat sama cerita saat SMA nih. Tapi pas MOS dulu enggak ada nama di meja jadi aku cari tempat duduk yang kiranya enak diajak kenalan, hehehe
BalasHapuslanjutannya gmn nih? Jadi penasaran
Kayaknya yang kayak gitu pas masa SMP ya. ah namanya juga fiksi, apapun bisa terjadi. HEhehee
HapusTerima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.