Sumber : Pixabay.com editted by canva |
Kau tahu, pagiku selalu cukup hangat dengan secangkir teh yang dibuat oleh Mbok Ijah. Seperti pagi ini. Secangkir teh telah melengkapi setangkup roti bakar untuk sarapanku. Asapnya yang mengepul dan aromanya yang khas seolah menambah semangatku untuk menjalani hari. Karenanya, aku tak pernah absen untuk bisa menikmati secangkir teh hangat di atas meja ketika sarapan. Tak perduli apa pun sarapan yang tersedia di sana. Secangkir tehku akan selalu melengkapi.
Tadinya, ku pikir kamu juga begitu. Lelaki yang ku harap akan selalu melengkapi hidupku. Sikapmu yang hangat mengingatkanku pada secangkir teh yang selalu ku nikmati. Dimana pun kamu, tak perduli apa pun kesibukanmu, kau selalu saja punya waktu untuk membantu menyelesaikan segala kerumitanku, entah itu urusan pekerjaan atau pun kehidupan. Jadi, bukan salahku jika kemudian aku melabuhkan hatiku padamu. Yah, meski ku akui, aku tak pernah punya nyali untuk mengungkapkannya padamu. Lagi pula, hey, aku ini wanita. Apa iya aku harus mengungkapkannya terlebih dahulu padamu? Tidak. Katakan saja aku kolot. Tapi ya, aku akan menunggu kau bergerak lebih dulu.
Katamu, kau akan selalu melindungi wanita yang berarti bagimu. Lalu apakah aku salah jika menganggap diriku sangat berarti untukmu? Di saat kau selalu menjadi pihak yang menutupi segala kesalahanku dalam pekerjaan. Atau di saat kau tak pernah membiarkanku pulang sendirian ketika kebetulan aku sedang lembur. Tak perduli ada begitu banyak taksi di jalanan, kau akan menyempatkan waktu untuk mengantarku pulang.
“Taksi jaman sekarang tidak aman untuk wanita. Apalagi di malam hari begini. Biar aku saja yang mengantarmu pulang,” begitu selalu yang kau ucapkan ketika aku menolak kau antarkan.
“Tapi rumahmu berbeda arah dengan jalan rumahku. Ini sudah larut, tidakkah kau ingin segera istirahat?” suatu hari pernah pertanyaan itu terlontar dariku. Tapi apa jawabanmu?
“Tak mengapa. Pria punya pertahanan lebih baik mengatasi rasa lelahnya. Mereka telah diciptakan untuk menjadi pemimpin yang akrab dengan rasa lelah. Jadi tak akan menjadi masalah jika lelahku bertambah hanya untuk mengantarmu, Ra,” begitu jawabanmu saat itu. Mungkin engkau tak kan pernah mengerti, setiap jawabanmu selalu menambah gelenyar dalam hatiku. Degup jantungku semakin tak menentu jika aku berdekatan denganmu. Semua itu karena jawaban-jawaban yang kau lontarkan dari setiap tanya yang ku beri. Sungguh, kau menjadi semakin hangat dari hari ke hari. Bahkan melebihi hangatnya secangkir teh yang selalu ku nikmati di pagi hari. Rasanya aku tak tahan menahan gejolak rasaku sendiri.
Namun, sayangnya aku tetap tak mempunyai cukup keberanian untuk mengatakan semua hal yang ku rasakan padamu. Meski banyak teman sekantor yang mulai menjodoh-jodohkan kita. Hal yang wajar menurutku. Kau seorang pria single dan aku pun sedang tidak berkencan dengan siapa pun. Belum lagi, kita yang seolah tak terpisahkan. Kemana pun aku pergi kau akan senantiasa menemani.
“Duh, gemas liat kalian. Kapan sih hubungan kalian dihalalkan?” tak terhitung berapa kali pertanyaan itu muncul ketika rekan kantor kita melihatmu mengantarku pulang. Atau sekedar menemaniku makan siang. Tapi kau selalu menanggapi dengan senyum simpul. Tak pernah ada sangkalan atau pembenaran tentang pertanyaan itu. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya kau anggap apa aku selama ini?
***
Aku menyeruput teh hangatku lagi sebelum menandaskan roti bakarku. Benakku terngiang kembali pada kejadian kemarin di kantor. Kejadian yang menjadi titik balik semua perasaan yang aku miliki. Kejadian yang tidak pernah aku duga selama ini.
Yah, akhirnya setelah sekian lama, aku ingin memberanikan diri meluapkan segala rasa yang kumiliki. Tidak. Aku rasanya tetap tidak memiliki nyali untuk itu. Namun, paling tidak aku harus tahu apa arti diriku di hatimu. Apa arti sikap hangatmu padaku? Lantas apa aku memang sangat berarti di hidupmu. Sehingga kau bisa melengkapi hidupku seperti secangkir teh hangat yang selalu melengkapi sarapanku.
“Rey, kau tidak keberatan dengan ejekan teman-teman?” tanyaku kemarin padamu saat lagi-lagi kau bersikeras mengantarku pulang.
Ku lihat raut wajah bingungmu sejenak sebelum sebuah pemahaman muncul dalam benakmu. Lalu kau menjawab dengan entengnya, “Biarkan saja, Ra. Mereka tidak akan berhenti jika pun kita ngotot ingin mereka berhenti.”
“Maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Mereka ‘kan hanya ingin semua berjalan dengan kemauan mereka, Ra. Tapi mereka nggak akan pernah tahu apa yang kita rasakan. Mana pernah mereka mau mengerti tentang persahabatan. Kamu adalah sahabat terbaik bagiku, Ra. Sudahkah aku mengatakan ini padamu?” jelasmu.
Persahabatan. Jadi sikap hangatmu padaku hanya sebatas sahabat. Saat itulah aku tersadar. Kau memang selalu baik pada semua orang. Sikap hangatmu tak semata-mata kau tujukan hanya padaku. Kau memang seperti itu pada siapa pun.
Rupanya selama ini, aku hanya terjebak pusara rasaku sendiri. Aku sibuk merangkai semua kejadian yang membuat hatiku berharap (Tere Liye). Sedang kau hanya menganggapku sebatas sahabat. Tindakanmu yang selalu melindungi semua kesalahanku bekerja pun bukan tanpa alasan. Kau melakukannya karena kau memang pemimpin yang baik. Tentu saja tidak hanya padaku, tapi juga pada anggota tim yang lain pun kau melakukan hal yang sama. Seolah itu tak cukup menyakiti perasaanku, kemarin kau kembali memeraskan jeruk nipis di atas luka hatiku. Menambahkan perih yang ku rasakan.
“Aku sudah berhasil melamar gadis pujaanku, Ra. Ku harap kau mau mendoakan semoga acara pernikahanku kelak bisa berjalan lancar. Aku sudah tidak sabar memilikinya, Ra,” begitu ungkapmu. Pada akhirnya kau menceritakan bahwa kau sudah sangat mencintai wanita lain sejak bertahun-tahun lamanya. Kau pun sama sepertiku. Sejak dulu tidak pernah punya keberanian mengungkapkan apa yang kau rasakan. Bedanya, kini kau bisa langsung melamarnya setelah kau sukses dengan pekerjaanmu. Ditambah, dia pun ternyata menunggumu. Sedangkan aku, apa yang bisa ku lakukan?
***
Aku hanya seorang wanita yang lagi-lagi akan selalu menunggu. Menunggu kapan waktuku bertemu dengan seorang sepertimu lagi. Seorang yang berlaku hangat hanya padaku. Seorang yang tidak melihatku hanya sebatas sahabat. Seorang yang melengkapi hidupku seperti secangkir teh yang ku miliki sebagai pelengkap sarapan pagiku.
Oh Tuhan, apakah itu berlebihan? Rasanya tidak. Bukankah Kau yang menjanjikan bahwa semua hal di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan. Aku pikir, itu juga berlaku bagiku. Keyakinanku masih sebesar itu. Tuhan telah menyiapkan pasanganku. Meski aku belum tahu dimana dia kini. Meski itu bukan kau. Namun satu hal yang pasti, dia akan menjadi sebenar-benarnya pelengkap hidupku.
Aku menandaskan secangkir tehku. Meski kini sudah tidak hangat lagi. Aku tetap menghabiskannya. Begitu pula hidupku. Aku harus tetap melangkah maju. Meski kau telah bertransformasi menjadi hanya sebatas sahabat untukku. Biarlah, gejolak rasa ini akan ku usahakan untuk memadamkannya sendiri. Selagi engkau belum mengetahui apa pun, ku pikir kita akan baik-baik saja. Yah, hubungan kita akan seperti biasanya. Meski akan sedikit terasa sakit ketika kau menyebut namanya dalam binar kekagumanmu nanti, aku akan mencoba bertahan. Sampai nanti semua menjadi biasa saja bagiku. Saat kau tak lagi seperti sehangat secangkir teh pagiku.
[End]
13 Komentar
Jadi baper bacanya Mbak Yuni. Wanita memang mudah terbawa perasaan. Apalagi kalau sudah berbicara masalah cinta, wah jadi gak ada habis-habisnya deh. Agak nyesek juga bacanya, karena saya beberapa waktu yang lalu juga menulis cerpen dengan tema Mencintai Dalam Diam. Harus bisa legowo menerima kenyataan, kalau ternyata yang dicintai tidak memberikan balasan. Sukses Mbak, ditunggu cerita-cerita selanjutnya.
BalasHapusBegitulah Mbak. Saya sepakat. Hehehe
HapusNyesek di dada. Kebayang rasanya jadi di wanita, sangat berharap tapi ternyata perasaannya bertepuk sebelah tangan.Problem perempuan memang kebanyakan begitu ya mba, sering gampang baper kalau dapat perlakuan manis dari laki laki. Meskipun bukan hanya ke dia saja perlakuan manisnya itu. Tapi suka banget sama sikap legowonya tokoh wanita dan tetap mau bersahabat baik kaya semula.
BalasHapusSemoga tidak terasa lebih sesak saat membaca cerpen setelah ini. Hehehe
HapusGimana ya, laki-laki tuh memang begitu, sih. Suka baiiik sekali sama kita tapi tanpa disadari dia juga sebaik itu sama teman-teman perempuan yang lain. Tapi kalau sudah tahu perasaan dia ke kita seperti apa, ini masih jauh lebih baik, lho. Kita jadi bisa menata hati. Sedikit demi sedikit mengurangi harapan untuk punya hubungan yang lebih serius. Soal masih cinta atau nggak sih, ya biarkan saja. Cinta dipaksa nggak cinta sih susah. Asal jangan tutup mata aja kalau ada yang menawan lewat di depan mata, hahaha ...
BalasHapusNice story, Mbak Yuni. Sukaaa deh ...
Terima kasih juga sudah mampir dan membaca cerpen yuni, Mbak Melina. Hehehe
HapusDuh bacanya ikutan baper nih, emang ya namanya perempuan apa-apa pakai perasaan. Kalo wes ngomongin cinta dan ternyata gak sesuai harapan, bikin mewek. Tulisannya bagus mba, sukses selalu
BalasHapusTerima kasih Mbak Steffi. Semoga nggak makin baper sama tulisan selanjutnya. Hehehe
Hapuswaah....ikut baper bacanya. Jd inget sama seseorang yg berharap tp maaf saya ga minat, dia menunggu didepan rumah dlm hujan dan memggunakan payung hitam..hahha
BalasHapusdisuruh masuk ga mau, disuruh.pulang jg ga mau, sebelum aku bilang menerimanya....ya wis terserah dirimu ajah..hihihi
Kayak lagu dangdut itu ya Mbak. Payung hitam. Eh. Hehehe
HapusDuh baper aku
BalasHapusSetuju dengan endingnya. Tetap semangat dan tidak membiarkan rasa larut dalam pusaran persahabatan yang akhirnya menyedihkan.
Aku selalu suka baca cerita mbak Yuni..ngalir banget bahasanya. Keren!!
Terima kasih mbak dian. MAsih terus belajar sih. Lagi pula Yuni memang suka nulis fiksi. Type pengkhayal juga. Hehehe
HapusKadang susah juga antara hubungan "persahabatan" laki laki da perempuan, pasti selalu ada yang baper. Bener banget endingnya, gak bisa dipaksakan dan gak perlu nunggu. Kita harus move on!
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.