Rayyan POV
Huft. Ini bukan ijab-qabul pertama yang ku ucapkan. Tapi tetap saja aku merasa gugup. Bahkan sepertinya kali ini, aku lebih gugup dari saat mengucapkan untuk Ayu dulu. Kedua telapak tanganku basah dan aku tidak bisa mengontrol degup jantung yang seolah berdisko di dalam sana. Bahkan, aku seperti kehabisan oksigen. Berulang kali ku seka kedua telapak tangan dengan kain persegi empat bermotif bunga di keempat tepinya yang dipersiapkan mama tadi. Tetap saja, itu tidak bisa meredakan semua gejolak gila dalam jantungku.
“Gugup?” tanya Papa Abigail yang duduk di hadapanku. Mungkin beliau menyadari bahwa calon menantunya sedang tidak tenang.
“Sedikit, Pa,” jawabku.
“Padahal ini bukan yang pertama kalinya untukmu. Masih juga merasa gugup?” tanya Papa Abigail dengan nada geli.
Aku hanya bisa tersenyum kecut. Kali ini kami mengikrarkan janji pernikahan di sebuah masjid di dekat rumah Abigail. Sebuah meja kecil di letakkan di hadapanku lengkap dengan mikrophone dan Al Qur’an. Di samping kanan dan kiriku duduk adik mama dan salah satu keluarga Abigail sebagai saksi. Papa Abigail mengambil tempat tepat di hadapanku dengan seorang pemuka agama, penghulu dan staff dari KUA.
Mama, pengantin wanita dan tamu-tamu perempuan lainnya berada di lantai dua masjid yang sebenarnya bisa terlihat dari tempatku duduk andai saja aku mau mendongak. Tapi, aku tidak melakukannya. Aku sudah sangat repot mengatur debaran jantung tanpa harus ditambah dengan melihat wajah pengantinku.
“Coba baca Shalawat, Ray!” pinta Papa Abigail.
Ku coba mengambil napas dalam untuk ku hembuskan perlahan dan itu ku lakukan beberapa kali untuk menenangkan debaran jantung ini. Tak lupa mengucap shawalat dalam hati. Benar saja. Setelah itu, aku mulai merasa sedikit tenang.
“Merasa lebih baik?” tanya Papa Abigail.
“Iya, Pa. Terima kasih,” ucapku.
Tak lama kemudian, Penghulu pun memulai prosesi akad kami. Pertama-tama beliau membacakan khutbatul hajah. Lalu beberapa guyonan dilontarkan setelahnya. Mungkin beliau berpikir akan sedikit mengurangi rasa gugupku.
“Mas Rayyan sudah hapal nama calon istri dan calon mertua ‘kan?” tanya beliau diikuti suara tawa para tamu.
“Sudah, Pak,” jawabku mantap. Jangan ditanya lagi bagaimana bentuk wajahku. Rasanya, semua darah terkumpul di sana.
“Tahu tahun lahir calon istri ‘kan?” tanya Pak Penghulu.
Keningku berkerut. Namun, tetap saja aku menjawab pertanyaan itu meski ku akui tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Abigail bukan anak di bawah umur. Dia sudah sangat siap untuk menikah. Tidak ada keraguan untuk hal itu.
“Baiklah. Silahkan dimulai akadnya Pak Jamal,” kata Pak Penghulu.
Papa Abigail memang ingin menikahkan putrinya sendiri. Beliau tidak ingin diwakilkan oleh siapapun. Detik selanjutnya, beliau menjabat tanganku mantap, menatap tajam ke arah mataku dan dengan tegas beliau mengucap, “Saudara Rayyan Putra bin almarhum H. Ibrahim, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri saya, Abigail Ramadani binti Jamal Farid, dengan mahar seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar dua ratus delapan puluh satu ribu Sembilan belas rupiah, dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Abigail Ramadani binti Jamal Farid dengan saya Rayyan Putra bin almarhum H. Ibrahim dengan mahar tersebut, tunai.” Aku mengucap akad dengan satu tarikan nafas dan lantang.
Yah, mulai saat ini, aku telah resmi mengambil semua tanggung jawab atas diri Abigail dari ayahnya. Semua hal yang menyangkut hidup gadis itu kini sepenuhnya ada di pundakku.
“Bagaimana para saksi? Sah?” pertanyaan dari Bapak Penghulu kepada kedua saksi yang duduk di samping kanan dan kiriku.
“Sah,” jawab mereka dan sebagian besar tamu yang menyaksikan prosesi akadku.
Ku lihat Papa mertuaku menyusut setitik air mata dengan punggung tangannya. Seketika rasa haru juga menghinggapiku. Tidak ada yang lebih menyedihkan bagi orang tua selain merelakan putri mereka untuk melangkah bersama orang yang menjadi jodohnya. Tentu mereka berharap, putri mereka bisa meraih kebahagiaannya sendiri. Dan bisa dipastikan, tak perduli apapun, mereka tidak akan segan menghancurkan orang yang menyakiti putri mereka. Sekalipun itu suaminya.
Tak lama, ku lihat Abigail dengan kebaya dan hijab putih, melangkah dengan dituntun oleh mamanya mendekatiku. Kepalanya tertunduk. Mungkin malu atau apalah namanya, yang jelas saat ini dia sudah resmi menjadi milikku. Istriku.
“Salam sama suamimu, Nak!” begitu perintah mama Abigail yang ku dengar.
Dia pun mendongak. Wajahnya cantik. Make upnya pun tidak berlebihan. Dia masih terlihat seperti dirinya sendiri bukan ondel-ondel. Ku lihat tangannya meraih tanganku. Kemudian dia juga mencium punggung tanganku sebelum aku meletakkan tanganku ke ubun-ubunnya sembari mengucapkan doa dalam hati.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan aku berlindung kepadamu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya.”
Baca juga kisah sebelumnya
Merindukan Pernikahan - Dua Puluh Tiga -
Merindukan Pernikahan - Dua Puluh Dua -
***
Resepsi pernikahan kami dilangsungkan di gedung Gita Tamtama Surabaya yang ada di daerah Genteng Kali – Surabaya. Gedung berkapasitas 500 orang itu sudah ramai sekali oleh tamu undangan. Ternyata mama dan papa mertuaku bukan orang biasa. Sepertinya mereka adalah orang penting. Terlihat dari tamu-tamu yang datang. Beberapa adalah orang-orang penting di Surabaya. Tidak perlu ku sebutkan satu demi satu deh.
Aku dan Abigail terus saja melempar senyum pada tamu-tamu yang hendak memberi ucapan selamat pada kami. Banyak juga teman-teman Abi yang datang. Wajar sih, di sini kampung halamannya. Apalagi Abigail adalah teman yang sangat baik. Sudah pasti mereka akan meluangkan waktu untuk menghadiri hari bahagianya.
Lalu, saat itulah mataku menangkap seorang lelaki sedang berbincang dengan Naila dan Laras. Lelaki itu memiliki postur tubuh yang tinggi, tegap dan wajah yang tidak jelek. Oke, dilihat dari kedua sahabat Abigail yang menempel padanya, ku akui dia cukup menarik. Aku menoleh ke samping. Mata Abi tertuju pada mereka dengan senyum yang semakin terkembang. Tangannya melambai pada mereka bertiga yang disambut tawa oleh sang lelaki dan kedua dayangnya. Tanpa bisa dicegah, mereka bertiga mendekat ke pelaminan. Aku mengenal Naila dan Laras, tetapi aku tidak mengenal lelaki yang bersama mereka.
“Itu pacar Naila atau Laras?” tanyaku berbisik tepat di telinga Abigail.
Abigail menatapku geli sebelum menjawab, “Bukan, Mas. Dia Zaman Zulkarnaen. Ah iya, Mas ‘kan belum kenal dia ya.”
Aku terperangah. Zaman Zulkarnaen yang ku tahu adalah nama mantan pacar Abigail. Tak ku sangka dia masih berhubungan sangat baik dengan mantannya. Sekejap saja hatiku merasa tercubit. Tentu saja aku cemburu. Ku lingkarkan tanganku di pinggang Abigail membuatnya berjengit. Lelaki itu harus tahu siapa yang ada di samping Abigail saat ini. Dia harus menyadari bahwa kisah mereka hanya sekedar masa lalu yang tidak perlu lagi diingat.
“Kamu ngundang mantanmu?” tanyaku masih berbisik.
“Kenapa nggak?” Abigail balik bertanya. “Dia cuma Zaman, Mas. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan lah,” katanya lagi.
“Bisa saja dia masih cinta sama kamu,” ujarku mendebat. Semoga tidak ada yang melihat keributan kecil di sini.
“Duh, yang penting ‘kan sekarang aku cuma punya Mas Ray. Nggak usah berlebihan deh,” keluhnya.
Gadis ini. Ku lihat Zaman tidak mengalihkan pandangannya dari Abigail sejak tadi. Apakah aku tidak salah melihat? Masih ada binar kagum di pancaran matanya. Tidak salah lagi. Lelaki ini masih menaruh hati pada Abigail. Atau jangan-jangan, gadis ini juga masih memiliki rasa yang sama dengan lelaki itu? Tidak mungkin.
“Selamat ya, Abs!” ucap Zaman Zulkarnaen begitu dia sudah dihadapan Abigail.
Aku semakin mengencangkan rangkulan lenganku di pinggang Abigail. Lelaki di hadapan kami ini cukup menarik. Belum lagi katanya dia adalah seorang pengacara. Bukan pengangguran yang bisa dengan mudah ku kalahkan. Pekerjaannya cukup mapan meski aku tidak pernah merasa minder dengan pekerjaanku.
“Terima kasih ya Zam. Kamu buruan nyusul,” jawab Abigail dengan senyum manisnya.
Kalau menuruti egoku, rasanya aku tidak rela membiarkan dia tersenyum pada lelaki lain. Tapi mau bagaimana lagi? Dia adalah tamu kami. Mau tidak mau aku harus menampilkan wajah ramah.
“Selamat ya, Mas. Sampeyan beruntung mendapatkan Abigail,” ucapnya kali ini padaku sembari mengulurkan tangannya.
Tentu saja. “Yah, ku rasa begitu,” jawabku menjabat tangan lelaki itu.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan raut wajahku. Kedua sahabat istriku terlihat berbisik sebelum tertawa geli. Ntah apa yang mereka bicarakan. Kali ini rasanya aku lebih ingin beramah tamah dengan ratusan tamu ketimbang meladeni ketiga orang di hadapanku. Lebih baik lagi kalau lelaki ini segera saja angkat kaki dari sini.
“Zam, kita turun aja yuk! Udah kelar ‘kan kasih selamatnya?” ajak Naila.
“Iya nih. Kayaknya ada yang nggak rela banget kamu berlama-lama di sini,” sahut Laras.
Kening Zaman Zulkarnaen berkerut. Lalu pandangannya beralih menatapku menerbitkan senyum di bibirnya.
“Tenang, Mas. Meski aku ingin sekali membawa pengantinmu tapi percayalah. Dia nggak akan mau denganku.” Zaman Zulkarnaen berbicara dengan santai sekali. Dia tidak tahu efeknya padaku. Rangkulanku di pinggang Abigail semakin erat. Ku yakin dia meringis kesakitan.
“Apa sih Zam?” omel Abigail. Dia pasti mengerti suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja. “Sono pergi deh!” lanjutnya mengusir lelaki itu.
Mereka bertiga tertawa dan berlalu dari pelaminan kami. Barulah aku bisa rileks kembali. Mungkin memang benar, reaksiku berlebihan. Gadis di sampingku ini telah menjadi milikku. Tidak perduli setampan apa pun mantan pacarnya, akulah yang berhasil mengakad gadis ini. Dia tidak berarti apa-apa lagi. Sama tidak berartinya dengan Ayu di kehidupanku.
Setelah sekian lama, aku kembali menemukan kebahagiaanku. Memang tidak ada yang bisa menjamin, tidak akan ada masalah di kehidupan rumah tangga kami. Tetapi, aku akan berusaha untuk selalu mengutamakan kebahagiaannya.
- To Be Continue -
With Love
Huft. Ini bukan ijab-qabul pertama yang ku ucapkan. Tapi tetap saja aku merasa gugup. Bahkan sepertinya kali ini, aku lebih gugup dari saat mengucapkan untuk Ayu dulu. Kedua telapak tanganku basah dan aku tidak bisa mengontrol degup jantung yang seolah berdisko di dalam sana. Bahkan, aku seperti kehabisan oksigen. Berulang kali ku seka kedua telapak tangan dengan kain persegi empat bermotif bunga di keempat tepinya yang dipersiapkan mama tadi. Tetap saja, itu tidak bisa meredakan semua gejolak gila dalam jantungku.
“Gugup?” tanya Papa Abigail yang duduk di hadapanku. Mungkin beliau menyadari bahwa calon menantunya sedang tidak tenang.
“Sedikit, Pa,” jawabku.
“Padahal ini bukan yang pertama kalinya untukmu. Masih juga merasa gugup?” tanya Papa Abigail dengan nada geli.
Aku hanya bisa tersenyum kecut. Kali ini kami mengikrarkan janji pernikahan di sebuah masjid di dekat rumah Abigail. Sebuah meja kecil di letakkan di hadapanku lengkap dengan mikrophone dan Al Qur’an. Di samping kanan dan kiriku duduk adik mama dan salah satu keluarga Abigail sebagai saksi. Papa Abigail mengambil tempat tepat di hadapanku dengan seorang pemuka agama, penghulu dan staff dari KUA.
Mama, pengantin wanita dan tamu-tamu perempuan lainnya berada di lantai dua masjid yang sebenarnya bisa terlihat dari tempatku duduk andai saja aku mau mendongak. Tapi, aku tidak melakukannya. Aku sudah sangat repot mengatur debaran jantung tanpa harus ditambah dengan melihat wajah pengantinku.
“Coba baca Shalawat, Ray!” pinta Papa Abigail.
Ku coba mengambil napas dalam untuk ku hembuskan perlahan dan itu ku lakukan beberapa kali untuk menenangkan debaran jantung ini. Tak lupa mengucap shawalat dalam hati. Benar saja. Setelah itu, aku mulai merasa sedikit tenang.
“Merasa lebih baik?” tanya Papa Abigail.
“Iya, Pa. Terima kasih,” ucapku.
Tak lama kemudian, Penghulu pun memulai prosesi akad kami. Pertama-tama beliau membacakan khutbatul hajah. Lalu beberapa guyonan dilontarkan setelahnya. Mungkin beliau berpikir akan sedikit mengurangi rasa gugupku.
“Mas Rayyan sudah hapal nama calon istri dan calon mertua ‘kan?” tanya beliau diikuti suara tawa para tamu.
“Sudah, Pak,” jawabku mantap. Jangan ditanya lagi bagaimana bentuk wajahku. Rasanya, semua darah terkumpul di sana.
“Tahu tahun lahir calon istri ‘kan?” tanya Pak Penghulu.
Keningku berkerut. Namun, tetap saja aku menjawab pertanyaan itu meski ku akui tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Abigail bukan anak di bawah umur. Dia sudah sangat siap untuk menikah. Tidak ada keraguan untuk hal itu.
“Baiklah. Silahkan dimulai akadnya Pak Jamal,” kata Pak Penghulu.
Papa Abigail memang ingin menikahkan putrinya sendiri. Beliau tidak ingin diwakilkan oleh siapapun. Detik selanjutnya, beliau menjabat tanganku mantap, menatap tajam ke arah mataku dan dengan tegas beliau mengucap, “Saudara Rayyan Putra bin almarhum H. Ibrahim, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri saya, Abigail Ramadani binti Jamal Farid, dengan mahar seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar dua ratus delapan puluh satu ribu Sembilan belas rupiah, dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Abigail Ramadani binti Jamal Farid dengan saya Rayyan Putra bin almarhum H. Ibrahim dengan mahar tersebut, tunai.” Aku mengucap akad dengan satu tarikan nafas dan lantang.
Yah, mulai saat ini, aku telah resmi mengambil semua tanggung jawab atas diri Abigail dari ayahnya. Semua hal yang menyangkut hidup gadis itu kini sepenuhnya ada di pundakku.
“Bagaimana para saksi? Sah?” pertanyaan dari Bapak Penghulu kepada kedua saksi yang duduk di samping kanan dan kiriku.
“Sah,” jawab mereka dan sebagian besar tamu yang menyaksikan prosesi akadku.
Ku lihat Papa mertuaku menyusut setitik air mata dengan punggung tangannya. Seketika rasa haru juga menghinggapiku. Tidak ada yang lebih menyedihkan bagi orang tua selain merelakan putri mereka untuk melangkah bersama orang yang menjadi jodohnya. Tentu mereka berharap, putri mereka bisa meraih kebahagiaannya sendiri. Dan bisa dipastikan, tak perduli apapun, mereka tidak akan segan menghancurkan orang yang menyakiti putri mereka. Sekalipun itu suaminya.
Tak lama, ku lihat Abigail dengan kebaya dan hijab putih, melangkah dengan dituntun oleh mamanya mendekatiku. Kepalanya tertunduk. Mungkin malu atau apalah namanya, yang jelas saat ini dia sudah resmi menjadi milikku. Istriku.
“Salam sama suamimu, Nak!” begitu perintah mama Abigail yang ku dengar.
Dia pun mendongak. Wajahnya cantik. Make upnya pun tidak berlebihan. Dia masih terlihat seperti dirinya sendiri bukan ondel-ondel. Ku lihat tangannya meraih tanganku. Kemudian dia juga mencium punggung tanganku sebelum aku meletakkan tanganku ke ubun-ubunnya sembari mengucapkan doa dalam hati.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan aku berlindung kepadamu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya.”
Baca juga kisah sebelumnya
Merindukan Pernikahan - Dua Puluh Tiga -
Merindukan Pernikahan - Dua Puluh Dua -
***
Resepsi pernikahan kami dilangsungkan di gedung Gita Tamtama Surabaya yang ada di daerah Genteng Kali – Surabaya. Gedung berkapasitas 500 orang itu sudah ramai sekali oleh tamu undangan. Ternyata mama dan papa mertuaku bukan orang biasa. Sepertinya mereka adalah orang penting. Terlihat dari tamu-tamu yang datang. Beberapa adalah orang-orang penting di Surabaya. Tidak perlu ku sebutkan satu demi satu deh.
Sumber : www.berkahcatering.web.id |
Aku dan Abigail terus saja melempar senyum pada tamu-tamu yang hendak memberi ucapan selamat pada kami. Banyak juga teman-teman Abi yang datang. Wajar sih, di sini kampung halamannya. Apalagi Abigail adalah teman yang sangat baik. Sudah pasti mereka akan meluangkan waktu untuk menghadiri hari bahagianya.
Lalu, saat itulah mataku menangkap seorang lelaki sedang berbincang dengan Naila dan Laras. Lelaki itu memiliki postur tubuh yang tinggi, tegap dan wajah yang tidak jelek. Oke, dilihat dari kedua sahabat Abigail yang menempel padanya, ku akui dia cukup menarik. Aku menoleh ke samping. Mata Abi tertuju pada mereka dengan senyum yang semakin terkembang. Tangannya melambai pada mereka bertiga yang disambut tawa oleh sang lelaki dan kedua dayangnya. Tanpa bisa dicegah, mereka bertiga mendekat ke pelaminan. Aku mengenal Naila dan Laras, tetapi aku tidak mengenal lelaki yang bersama mereka.
“Itu pacar Naila atau Laras?” tanyaku berbisik tepat di telinga Abigail.
Abigail menatapku geli sebelum menjawab, “Bukan, Mas. Dia Zaman Zulkarnaen. Ah iya, Mas ‘kan belum kenal dia ya.”
Aku terperangah. Zaman Zulkarnaen yang ku tahu adalah nama mantan pacar Abigail. Tak ku sangka dia masih berhubungan sangat baik dengan mantannya. Sekejap saja hatiku merasa tercubit. Tentu saja aku cemburu. Ku lingkarkan tanganku di pinggang Abigail membuatnya berjengit. Lelaki itu harus tahu siapa yang ada di samping Abigail saat ini. Dia harus menyadari bahwa kisah mereka hanya sekedar masa lalu yang tidak perlu lagi diingat.
“Kamu ngundang mantanmu?” tanyaku masih berbisik.
“Kenapa nggak?” Abigail balik bertanya. “Dia cuma Zaman, Mas. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan lah,” katanya lagi.
“Bisa saja dia masih cinta sama kamu,” ujarku mendebat. Semoga tidak ada yang melihat keributan kecil di sini.
“Duh, yang penting ‘kan sekarang aku cuma punya Mas Ray. Nggak usah berlebihan deh,” keluhnya.
Gadis ini. Ku lihat Zaman tidak mengalihkan pandangannya dari Abigail sejak tadi. Apakah aku tidak salah melihat? Masih ada binar kagum di pancaran matanya. Tidak salah lagi. Lelaki ini masih menaruh hati pada Abigail. Atau jangan-jangan, gadis ini juga masih memiliki rasa yang sama dengan lelaki itu? Tidak mungkin.
“Selamat ya, Abs!” ucap Zaman Zulkarnaen begitu dia sudah dihadapan Abigail.
Aku semakin mengencangkan rangkulan lenganku di pinggang Abigail. Lelaki di hadapan kami ini cukup menarik. Belum lagi katanya dia adalah seorang pengacara. Bukan pengangguran yang bisa dengan mudah ku kalahkan. Pekerjaannya cukup mapan meski aku tidak pernah merasa minder dengan pekerjaanku.
“Terima kasih ya Zam. Kamu buruan nyusul,” jawab Abigail dengan senyum manisnya.
Kalau menuruti egoku, rasanya aku tidak rela membiarkan dia tersenyum pada lelaki lain. Tapi mau bagaimana lagi? Dia adalah tamu kami. Mau tidak mau aku harus menampilkan wajah ramah.
“Selamat ya, Mas. Sampeyan beruntung mendapatkan Abigail,” ucapnya kali ini padaku sembari mengulurkan tangannya.
Tentu saja. “Yah, ku rasa begitu,” jawabku menjabat tangan lelaki itu.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan raut wajahku. Kedua sahabat istriku terlihat berbisik sebelum tertawa geli. Ntah apa yang mereka bicarakan. Kali ini rasanya aku lebih ingin beramah tamah dengan ratusan tamu ketimbang meladeni ketiga orang di hadapanku. Lebih baik lagi kalau lelaki ini segera saja angkat kaki dari sini.
“Zam, kita turun aja yuk! Udah kelar ‘kan kasih selamatnya?” ajak Naila.
“Iya nih. Kayaknya ada yang nggak rela banget kamu berlama-lama di sini,” sahut Laras.
Kening Zaman Zulkarnaen berkerut. Lalu pandangannya beralih menatapku menerbitkan senyum di bibirnya.
“Tenang, Mas. Meski aku ingin sekali membawa pengantinmu tapi percayalah. Dia nggak akan mau denganku.” Zaman Zulkarnaen berbicara dengan santai sekali. Dia tidak tahu efeknya padaku. Rangkulanku di pinggang Abigail semakin erat. Ku yakin dia meringis kesakitan.
“Apa sih Zam?” omel Abigail. Dia pasti mengerti suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja. “Sono pergi deh!” lanjutnya mengusir lelaki itu.
Mereka bertiga tertawa dan berlalu dari pelaminan kami. Barulah aku bisa rileks kembali. Mungkin memang benar, reaksiku berlebihan. Gadis di sampingku ini telah menjadi milikku. Tidak perduli setampan apa pun mantan pacarnya, akulah yang berhasil mengakad gadis ini. Dia tidak berarti apa-apa lagi. Sama tidak berartinya dengan Ayu di kehidupanku.
Setelah sekian lama, aku kembali menemukan kebahagiaanku. Memang tidak ada yang bisa menjamin, tidak akan ada masalah di kehidupan rumah tangga kami. Tetapi, aku akan berusaha untuk selalu mengutamakan kebahagiaannya.
- To Be Continue -
With Love
10 Komentar
Akhirnya jadi menikah juga Rayyan dan Abigail. Semoga langgeng deh. Tapi kok tiba-tiba muncul mantannya Abi ya, wah bakalan seru nih lanjutannya.
BalasHapusYeeey...pake ngundang mantan siiih. Engga salah sih kalo Rayyan cemburu. Wkwkwk...
BalasHapusWaaah... semoga samawa ya... ini ceritanya bikin baper dan bakalan seru. Mantul banget nih mbak Yuni
BalasHapusWiih mba yuni ini pinter ngobrak abrik perasaan pembaca. Wong udah nikah kok masih muncul mantan pacar ki piye? Teruskaaan part selanjutnya. Penasaran kiiiii
BalasHapusHehehe geli ya.,..lucu juga ternyata tingkahnya orang yang sedang dibakar api cemburu.... Rayyan cemburu malah jadi kaya protektif gitu... hihihihihi
BalasHapusWaduuh....seru juga ya klo ada mantan datang. Berarti udah siap dg segala.kemungkinan ya😀😀
BalasHapusWuiih..akhirnyaaa mereka menikah juga ya...
BalasHapusJadi ngebayangin ekspresi wajah Ray waktu ketemu Zaman..hihihi, duh bahaya nih, mantan diundang 😂
Haha... jadi inget pernikahan Saya dulu, si mantan datang jugaaaa
BalasHapusTulisan"nya sangat menginspirasi sekali, bikin flashback juga sih hehehe
BalasHapusSaya belum nikah, jadi saya iseng cuman baca-baca aja wkwk. Seenggaknya ada sedikit gambaran kedepan wkwk
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.