Sumber : Malesnulis.com |
Abigail POV
Sejak pagi di rumah sudah ramai sekali dengan segala aktivitas para saudara-saudara. Bahkan para tante dan sepupuku sudah menginap di sini sejak beberapa hari yang lalu. Membuatku tidak bisa merasa bebas bahkan di rumahku sendiri.
Baca juga Merindukan Pernikahan Part Dua Puluh
Mereka begitu sibuk menyiapkan acara lamaranku. Segala macam hidangan dibuat, mulai dari kue-kue dan makanan berat lainnya. Beberapa tetangga juga terlihat membantu. Rumahku yang memang sempit jadi semakin sesak saja.
"Jadi, Mbak beneran mau nikah sama duda?", tanya Yuni, salah satu sepupuku yang tinggal di Madura. Kami tidak cukup akrab sebenarnya. Namun, bukan berarti kami tidak berteman baik.
Saat ini aku dan kedua sepupuku sedang berada di kamarku. Bukan kamar yang luas sih, tapi aku selalu berusaha membuatnya rapi dan nyaman untuk ditempati.
Pertanyaan yuni hanya ku tanggapi dengan senyuman. Aku bukannya tidak menyadari cibiran keluarga tentang aku yang akan menikahi seorang duda. Tapi, aku tak ingin memusingkan hal itu. Toh calon suamiku orang yang baik. Dia juga sangat menyayangi ibunya. Bisa ku bayangkan betapa kelak dia juga akan menyayangiku seperti itu.
"Memang kenapa kalau duda? Mas Rayyannya Mbak Abi mah keren", puji Deria.
Dia ini sepupuku yang tinggal di Jember. Cantik dan suka tidak memperdulikan apapun pendapat orang tentangnya. Jika dia merasa suatu hal itu baik, maka dia akan terus melakukannya sampai ada orang yang memperingatkan dan menunjukkan bahwa itu salah. Dia adalah salah satu sepupu favoritku. Aku bahkan tidak keberatan berbagi kamar dengannya beberapa hari ini.
"Keren saja nggak cukup ya, Der. Percuma ganteng kalau miskin", ejek Yuni.
Salah satu kejelekan Yuni ini adalah suka menilai segala hal dari materi. Tak heran kalau pacar-pacarnya bahkan pergaulan dia adalah dari kalangan kelas atas. Dia enggan berteman terlalu akrab dengan rakyat jelata. Itu juga yang membuatnya tidak akrab denganku.
"Memang pacar-pacarmu yang kaya itu baik. Mereka semua brengsek kan?", balas Deria sengit. Mereka saling pandang.
Kalau tidak segera ditengahi, mereka akan semakin heboh saling mengejek. Karena ini seharusnya menjadi hari paling bahagia buatku, maka tak akan ku biarkan mereka beradu argumen di sini. Setidaknya bukan saat ini.
"Daripada kalian ribut aja di sini, kenapa kalian nggak jemput orang yang akan mengukir henna di tanganku sih", ujarku.
Deria dan Yuni mengalihkan pandangan mereka ke arahku.
"Kenapa mesti dijemput? Bukannya dia akan datang bersama Laras sahabatmu itu", jawab Yuni.
"Laras lagi repot katanya", kataku.
"Oh begitu. Yuk Yun, pakai mobilmu saja ya", ajak Deria sembari menarik tangan Yuni ke luar dari kamarku.
Meski agak keberatan, Yuni tetap juga mau pergi. Dia menyadari, kedatangannya kemari adalah untuk membantu keluarga kami. Jadi dia tidak bisa apa-apa selain menyetujui apapun yang ku minta dari mereka.
Kali ini aku bisa menikmati kesendirianku. Menikmati bagaimana jantungku berdegub lebih kencang dari biasanya. Hingga tersenyum riang memikirkan acara lamaran yang akan berlangsung dua hari lagi.
Tanpa sadar, pikiranku melayang saat pertama kali berjumpa dengan Mas Rayyan. Tiga tahun lalu. Ketika hari pertamaku memulai pekerjaan di Semarang.
"Mas, dia staff pembelian yang baru. Penempatan Semarang", kata Mbak Mega mengenalkanku. Senyumnya tersungging manis di bibirnya. Namun sayang, Pak Manager sama sekali tidak perduli.
Secara fisik, Mas Rayyan memang menarik. Tubuhnya tegap dengan dada yang bidang dan kokoh. Di usianya yang saat itu adalah 32 tahun dan sudah menjadi manager sebuah perusahaan besar, tentu terlihat jika kehidupannya sudah mapan bukan.
Lantas kenapa dia belum menikah?
Belakangan aku tahu, ternyata dia baru saja bercerai. Berarti duda keren, mapan dan belum punya anak. Gadis mana yang tidak tertarik?
"Kamu sudah tahu apa saja yang menjadi tugas dan tanggung-jawabmu?", tanya Mas Rayyan datar.
Apa yang ku harapkan? Gadis secantik Mbak Mega saja tidak membuatnya tertarik. Apalagi gadis sederhana sepertiku.
Mimpi jangan ketinggian, Abs.
"Sudah, Mas", jawabku ikut-ikutan memanggilnya dengan panggilan itu.
"Kalau begitu tunjukkan dimana mejanya, Meg", perintah Mas Rayyan pada Mbak Mega.
Selanjutnya aku mengekori Mbak Mega. Dia menjelaskan beberapa hal padaku. Tentang pekerjaan, tentang peraturan perusahaan dan sedikit peringatan untuk tidak menggoda Pak Manager. Ternyata, Mbak Mega juga mengidolakan Mas Rayyan. Kalau bisa berharap jadi pacar atau bahkan istrinya. Lucu sekali.
"Loe nakutin, Abs. Ngapain senyum-senyum sendiri?", tanya Laras yang tiba-tiba muncul di kamarku dan membuatku kembali pada masa kini. Masa dimana Mas Rayyan akhirnya memilihku sebagai pendampingnya. Bukan Mbak Mega apalagi kembali pada Ayu.
"Loe ngagetin. Tukang hennanya mana?", tanyaku.
Laras mempersilahkan seorang wanita berhijab masuk ke kamarku. Kemudian sibuk menyiapkan peralatan dan bahan untuk melukis di telapak tanganku. Sementara Laras sudah asyik membaca majalah muslimah di tempat tidur.
"Loe cuma mau lamaran, ribetnya udah kayak mau nikah", sindir Laras, "jangan-jangan loe langsung kawin siri lagi, Bi. Siapa tahu Mas Ray udah nggak nahan", sambungnya.
"Eh itu mulut ya", aku memperingatkan.
Terkadang Laras memang suka berkata asal. Tapi dia selalu berkata apa adanya tanpa berpikir harus menyenangkan hati siapapun. Bagi seorang yang belum mengenalnya, bisa jadi membuat hati terluka. Sayangnya, itu tidak berlaku bagiku dan Naila yang sudah mengenal bagaimana cara berbicara Laras.
Baca juga Merindukan Pernikahan Part Sebelas
"Loe jangan mau dinikahi bawah tangan, Bi. Keenakan banget suami loe ntar", saran Laras.
"Loe ngomong apa sih, Ras? Lagian ya, bokap gue nggak bakal ngebolehin juga lah", jawabku.
"Heran deh, kata loe 'kan Mas Rayyan orangnya dingin, nggak tersentuh sama cewek manapun. Terus sejak kapan dia naksir sama loe?", tanya Laras.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak tahu harus menjawab apa. Selanjutnya kami terdiam, membiarkan telapak tanganku terlukis henna. Kami melupakan kedua sepupuku yang tadi ku minta menjemput Laras dan temannya ini.
==========
Aku menunggu di kamarku malam ini. Di luar semua keluarga sudah berkumpul membicarakan tentang lamaran. Ntahlah, aku tidak begitu memahaminya. Para orang tua yang memutuskan.
Ini bukan kisah cinderella, dimana pangeran tampan akhirnya menemukan sang putri dan menikah. Lalu mereka hidup bahagia selamanya.
Pangeran tampan di kisah itu belum pernah menikah. Pun tidak punya kekasih. Hanya saja, memang banyak sekali gadis yang mengharapkan dia.
Berbeda dengan kisah ini. Sang pangeran tak lagi pantas disebut pangeran. Dia adalah raja yang pernah punya permaisuri. Lalu permaisuri pergi dan ditinggalkan. Meski dalam keadaan ditinggalkan permaisurinya, masih banyak gadis yang berharap menjadi permaisuri pengganti. Hingga dia bertemu dengan sang putri. Dan itu diriku.
"Hey, tukang mengkhayal. Udahan mengkhayalnya. Pangeran nungguin di depan", ujar Laras mengagetkanku, membuat lamunanku buyar seketika.
"Loe kebiasaan banget sih. Ngagetin mulu", keluhku.
"Soalnya, kalau nggak dikagetin loe suka halu berlebihan. Ayo buruan! Gue disuruh jemput loe ni, oneng", omel Laras.
Baiklah. Ini saatnya. Meski aku tak tahu apa kesepakatan yang sudah diambil oleh para orang tua, setidaknya aku sudah selangkah dimilikinya malam ini.
"Jadi, kapan pernikahannya akan digelar?" tanya papa.
"Bulan depan, pa," jawab Mas Rayyan cepat.
"Buru-buru amat, Ray. Udah nggak tahan hidup menduda ya?" ejek seorang lelaki entah siapa, aku tidak mengenalnya.
"Siapa yang tahan, Don? Calonnya cakep gitu," sambung yang lainnya.
"Ray, ngeliatinnya jangan gitu banget. Inget Ray! Belum halal," sahut yang lain lagi.
Selanjutnya rumahku yang sempit dipenuhi gelak tawa orang-orang. Aku hanya bisa menunduk malu, tidak sanggup lagi harus menegakkan kepala. Aku tidak tahu semerah apa wajahku saat ini. Mereka yang berceloteh itu tidak ada satu pun yang ku kenal.
"Dih Abi malu-malu. Biasa juga malu-maluin loe, Bi," ejek Laras.
Apa-apaan Laras? Kenapa dia jadi ikut-ikutan mengejek? Jadi semakin riuh saja suara gelak tawa mereka. Rasanya, aku ingin berlari ke dalam kamar menyembunyikan diri di sana sampai rumah kembali tenang. Atau lebih ekstrim lagi, aku ingin membelah bumi dan tenggelam ke dasarnya.
"Papa sih setuju saja bulan depan. Jadi tepatnya tanggal berapa?" tanya papaku setelah tawanya reda.
"Tanggal 15, Pa."
"Baiklah kalau begitu."
Kemudian Mas Rayyan memasangkan cincin di jariku. Jangan bayangkan dia akan menggenggam tanganku dan menatapku mesra seperti yang ada di drama-drama romantis. Ku rasa itu semua tidak ada dalam kamus mas Ray. Dia bukan orang yang bisa bersikap manis seperti tokoh-tokoh novel romantis yang sering ku baca. Dia adalah orang yang datar. Hampir mirip telenan. Tanpa ekspresi. Benar-benar orang yang kaku.
Tapi 'kan kamu suka, Bi.
Sayangnya memang iya. Aku suka dia. Jadi, terima saja dia yang begitu. Setidaknya dia tidak mengobral kata-kata gombalan. Yah, mesti sesekali aku juga ingin digombalin nantinya.
Hey, bukankah hal yang wajar istri pingin digombalin suaminya. Iya 'kan?
To Be Continue
With Love
14 Komentar
Yeayyy akhirnya lamaran juga... semoga happy ending
BalasHapusyuni mah sukanya happy ending. Hehehe
HapusAku juga pengen lah digombalin suami, abs! Ehehe..menikah dengan duda pasti banyak yang nyinyir yaa.
BalasHapusAh, lanjut aja.
Tak sabarnyaa menunggu kelanjutan ceritanya
Sudah pasti akan ada pro dan kontra. Tapi nggak papa,, yang penting nggak kontroversial. Hehehe
HapusWaduh, sebulan lagi menikah? Hum...semoga lancar nih perjalanan cinta Abi dan Rayyan. Penasaran nih...apakah akan berlanjut damai atau ada riak-riak yang mengganggu?
BalasHapusSemoga nggak bosan ya bacanya. HEhehe
Hapuseeeeaaaa..jadi kebayang-bayang pas dilamar dulu, uhuk!
BalasHapusAsyik sih yang sudah punya pengalaman dilamar. Nah yuni, kan belum malah bikin cerita begini. Hehehe
HapusAiissh udah lamaran aja. Aku keskip beberapa part nih. Semoga dilancarkan ya Abs menuju pernikahannya nanti. Kira2 bakal ada konflik gak nih antara lamaran-pernikahan? Hihiii
BalasHapusMonggo dibaca-baca, Mbak. Semuanya mah lengkap di blog ini. Hehehehe
HapusHahaha, datar mirip talenan. Jadi bikin penasaran nih episode selanjutnya gimana. Buruan nikah aja Ray dan Abs. Undangan buat saya jangan lupa, hehe
BalasHapusNikah online ya mbak Tatiek. Tenang, undangannya nanti undangan online juga. Hehehehe
HapusMakin penasaran deh dengan lanjutan ceeitanya
BalasHapusSemoga selalu suka baca cerita yuni ya, Mbak. Hehehe
HapusTerima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.