Sumber : itsdianindriani.blogspot.com |
ABIGAIL POV
Beberapa hari ini aku tidak memperdulikan semua pesan - pesan mas Rayyan jika itu bukan urusan pekerjaan. Dan sepertinya dia tidak masalah dengan itu. Juga tidak merasa bersalah atau apalah namanya. Dia kembali cuek.
Oke. Anggap saja aku tak tahu. Anggap saja aku tidak melihat apapun waktu itu.
"Bi, kamu sudah dengar kabar terbaru kantor belum?", tanya Mery berbisik.
"Kabar apa?", aku balik bertanya sambil terus fokus pada jurnal hutang perusahaan.
"Jangan kaget ya!", pinta Mery.
"Hmm"
"Katanya mas Ray mau nikah", bisik Mery lagi.
Apa katanya? Mas Rayyan mau menikah? Kabar darimana itu? Aku dan mas Rayyan bahkan belum mengatakan apapun pada siapapun. Lalu darimana kabar itu?
Ku tatap tajam mata Mery. Tak ku perdulikan keningnya mengernyit.
"Biasa aja dong, Bi. Kan kamu juga lihat beberapa hari lalu Mas Ray jalan sama cewek dan seorang anak. Mungkin dia mau rujuk sama istrinya", Mery berasumsi.
"Memang wanita itu mantan istrinya?", tanyaku.
Mery mengangguk. Fokusku mengabur. Apa ini?
Ternyata begitu. Dia bertemu mantan istrinya dan tidak mengatakan apapun padaku. Lalu dianggap apa aku ini? Ban serep? Mau dinikahi di kala mantan istrinya tidak memperdulikannya. Giliran sudah baik hubungannya malah dilupakan.
"Bi", Mery menyenggol sikuku.
Aku mengembalikan fokusku kembali. Melihat ke arah pandangan Mery. Mas Rayyan disana. Berdiri di ambang pintu ruangannya. Dengan ponsel di telinga. Raut wajahnya terlihat mengkhawatirkan sesuatu.
Apa terjadi sesuatu pada tante?
Aku mengambil map sembarangan. Berjalan mendekati Mas Rayyan.
"Baiklah. Tunggu aku disana. Aku antar ke dokter", katanya panik. Dia mematikan ponselnya.
"Ada apa mas? Siapa yang sakit?", tanyaku. Mau tak mau aku juga ikut khawatir. Tante bisa saja sakit. Dan aku tahu, tante sendirian di rumah.
"Bukan siapa - siapa. Saya keluar sebentar. Kalau ada yang cari saya, kamu buat saja jadwal bertemu selanjutnya", jelasnya sambil berlalu meninggalkanku.
Ini di kantor. Wajar jika dia bersikap seformal itu. Lagi pula belum ada yang mengetahui rencana pertunangan kami.
Tapi siapa lagi yang dia khawatirkan ini? Tidak mungkin tante kan? Tentu kalau tante yang sakit dia tidak akan mengatakan kalau itu bukan siapa - siapa.
"Kenapa Bi? Mas Ray kok buru - buru amat?", tanya Mery. Karena penasaran dia mendekatiku yang masih mematung di depan pintu ruangan Mas Rayyan.
Aku mengedikkan bahu lemas. "Bukan apa - apa katanya. Balik kerja deh Mer!", pintaku.
Aku kembali ke kubikelku. Tidak lagi fokus bekerja. Pikiranku kembali pada kejadian beberapa hari lalu. Waktu aku pergi ke citra land mall, mengantar Mery yang ingin membeli perlengkapan make upnya.
Mereka tengah asyik bermain bersama seorang balita. Menaiki sebuah kereta yang memang dibuat untuk permainan anak - anak.
"Eh Bi, itu mas Ray sama siapa? Samperin yuk!", ajak Mery.
Segera ku tarik lengan Mery menjauhi area itu. Aku mengajaknya membeli make up di konter lain saja.
"Kenapa nggak nyamperin Mas Rayyan aja sih Bi? Kan lumayan kita jadi punya gosip", keluh Mery.
"Pikiranmu mah gosip melulu, Mer. Kamu tunggu disini deh. Aku ngontak tanteku dulu", kataku pada Mery.
Aku melangkah menjauhi Mery. Waktu itu ku pikir mungkin dia adalah saudara tante yang ingin membantu mengurus acara pertunangan kami. Jadi pasti Mama Mas Rayyan juga ada di mall ini. Makanya aku akan mencoba menelponnya.
"Assalamualaikum calon mantu", sapa suara di seberang telpon.
"Waalaikumsalam tan. Tante lagi dimana?", tanyaku tanpa basa - basi.
"Duh kenapa manggilnya masih tante aja sih? Panggil mama dong, Bi!", pinta tante.
"Iya, ma. Abi lagi di CL. Mama dimana?", tanyaku lagi.
"Sama Rayyan ya, Bi. Kalian mau pilih cincinnya sendiri?", mama Mas Rayyan balik bertanya.
"Bukan, ma. Abi ngantar temen Abi belanja", jawabku.
"Kirain. Mama lagi di rumah ini, Bi. Lagi nyiapin makan malam. Kamu mau makan malam disini saja tidak, Nak?", tanya mama lagi.
Akhirnya aku menolak tawaran makan malam itu dan menyudahi panggilanku. Intinya mama Mas Rayyan di rumah. Dan beliau sepertinya tidak tahu putranya sedang disini bersama seorang wanita dan balita.
Langsung saja benakku dipenuhi pertanyaan tentang siapa mereka. Kenapa mereka terlihat seakrab itu?
Lalu kenapa aku seolah marah? Ah benar. Aku calon tunangan pria itu. Dan bukankah seharusnya aku tahu pria itu sedang bersama siapa saat ini. Tapi kenyataannya aku tidak tahu. Dan itu cukup menjelaskan bahwa aku belum cukup penting untuk tahu. Baiklah.
Paginya aku melihat pesan online darinya. Bertanya mengapa aku menelpon tante alih - alih dirinya.
Memang kalau saja aku telpon akan diangkat? Kan situ lagi asyik main sama anak, batinku pagi itu tanpa berniat membalas pesannya.
Dan sekarang Mery membawa berita kalau Mas Rayyan mau menikah lagi. Memang benar Mas Rayyan telah melamarku. Bahkan kami berencana bertunangan dua bulan lagi. Baru kemudian menikah setelah itu.
Apa mungkin Mas Rayyan yang sudah mengatakan sesuatu pada orang kantor ya? Tapi kenapa infonya malah mau rujuk sama mantan istrinya.
"Mer, memang ada yang bilang Mas Ray mau nikah sama siapa?", tanyaku.
Jangan salahkan aku jika aku mulai penasaran. Salahkan saja Mas Ray yang bertemu diam - diam dengan wanita lain.
"Belum ada yang bilang sih mau nikahnya sama siapa. Cuma kan waktu itu kita lihat Mas Ray lagi sama wanita dan seorang balita. Kalau dilihat dari usia sih kayaknya itu anak Mas Ray deh", asumsi Mery.
"Nggak mungkin", seruku membantah.
Jelas - jelas waktu di Surabaya Mas Rayyan bilang dia hanya pernah menikah dan belum punya anak. Mery pasti asal bicara.
"Darimana mbak tahu itu nggak mungkin. Jelas - jelas Mas Rayyan jadi duda baru tiga tahun. Dan anak itu umurnya juga nggak jauh - jauh sekitar itu", Mery kembali berasumsi.
Tapi iya juga. Masa iya Mas Rayyan bohong pada papaku. Ah masa bodoh. Mas Rayyan bilang dia hanya pernah menikah dan bercerai. Dia juga bilang belum punya anak. Jadi ya sudah.
Yang mau menikah dengan Mas Rayyan adalah aku. Abigail. Mestinya aku yang tahu segalanya. Jadi kalau ada kabar - kabar yang tidak enak begini, yang harusnya aku percaya adalah Mas Rayyan. Iya betul begitu.
Maka ku putuskan untuk mengabaikan segala asumsi Mery. Aku menolak menerka - nerka. Biarlah. Toh kalau jodoh maka semuanya akan dimudahkan. Jika diperumit maka sederhana saja. Kami bukan jodoh.
Tapi kamu sudah terlanjur berharap jodohmu dia kan, Abs. Jangan mengelak lagi.
Dan sayangnya memang begitu adanya.
To Be Continue
With Love
0 Komentar
Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.