Merindukan Pernikahan - Tujuh -

Baca kisah sebelumnya - Merindukan Pernikahan - Enam -

Abigail POV


Dasar orang aneh. Apa - apaan coba menanyakan pertanyaan - pertanyaan itu. Memangnya penting info aku punya calon suami atau pacar. Bukannya menanyakan kerjaan seperti biasanya saja.

Tak terbendung sekali rasanya keinginan untuk mengumpat. Tapi buat apa? Hanya akan menambah kesal dalam hati.

"Kamu kenapa, Bi?", tanya Mery. Mungkin dia heran melihat raut wajahku yang terlihat kesal.

"Biasa, Mer. Kerjaan", jawabku.

"Banyak banget ya, Bi. Perlu bantuan nggak?"

Mery memang sebaik itu. Dia akan selalu menawarkan bantuannya. Padahal pekerjaannya sendiri tak terhitung lagi bebannya.

"Punyamu kelarin dulu deh, Mer. baru nawarin bantuan", sindirku halus.

Dia hanya bisa menyunggingkan senyuman.

Sepanjang hari aku tak lagi repot - repot berinteraksi dengan managerku itu. Berkas yang memerlukan tanda tangannya hanya akan ku letakkan di meja kerjanya. Kemudian ku ambil kembali ketika dia memanggilku tanpa kata.

Aku kesal. Sebenarnya aku tak masalah bila dijadikan sebagai bahan ejekan teman - teman. Aku menyadari dengan status lajangku mereka tidak akan berhenti mengejekku. Tapi entah kenapa aku merasa Mas Rayyan seperti meremehkan hanya karena aku belum mempunyai pasangan.

Mungkin dia lupa kalau sekarang aja dia cuma duda gagal move on, rutukku dalam hati.

Keesokannya Mas Rayyan tidak masuk kantor. Tanpa pemberitahuan. Dan aku kalang kabut dibuatnya.

"Bi, Mas Ray mana sih?", tanya Mery.

"Nggak tahu, Mer. Aku kan bukan baby sitternya", jawabku.

"Iya. Tapi kamu kan staffnya. Masa nggak tahu?", tanya Mery lagi.

Ini dia yang jadi alasanku kalang kabut. Aku staffnya. Bisa dibilang asisntennya. Tangan kanannya. Bagaimana bisa dia dinas luar atau tidak masuk begini tanpa pemberitahuan. Sejak pagi tidak terhitung siapa saja yang sudah mencari Mas Rayyan. Tentu saja yang ku jawab tidak tahu. Apalagi.

Dia juga tidak masuk kantor besoknya dan besoknya lagi. Praktis selama tiga hari dia menghilang. Orang - orang finance sudah berulang kali meminta konfirmasi yang tidak bisa aku berikan. Hanya Mas Rayyan yang bisa menyetujui hal apapun tentang pembelian. Dan hal ini menambah daftar kekesalanku.

"Kamu sudah coba telpon Mas Ray belum, Bi?", tanya Mery.

"Sudah ribuan kali sejak pertama kali dia bolos kantor kali,  Mer. Mas Ray kemana sih?", jawabku.

"Kamu sebenarnya kangen atau gimana sih sama Mas Ray, Bi? Semua staff juga bakal happy kalau bosnya nggak masuk. Kamu malah kelimpungan kayak cacing kepanasan", sindir Mery sambil lalu. Telak.

Aku terdiam. Memikirkan kembali sindiran Mery. Apakah memang aku seperti yang dituduhkan Mery? Tapi sebenarnya apa yang dikatakan Mery benar. Seharusnya aku happy saja bosku tidak masuk. Ketika ada yang bertanya bukankah aku cukup menjawab tidak tahu.

Kalau Mas Rayyan pergi tanpa pesan begitu hanya ada dua kemungkinan.

Pertama memang karena tidak ada yang terlalu penting untuk dia kerjakan. Mungkin ada beberapa tagihan yang akan dibayar yang membutuhkan konfirmasi dia. Tapi tidak terlalu terburu waktu untuk segera dibayar. Kami masih ada beberapa saat lagi untuk jatuh temponya.

Kemungkinan kedua adalah Mas Rayyan memutuskan resign. Dia menemukan perusahaan lain yang bisa membayarnya lebih tinggi dari perusahaan ini. Jadi aku akan berganti bos lagi.

"Mer", bisikku. Mery sedang sibuk dengan data agronominya.

"Hmm". Dia masih fokus dengan layar komputer yang menampilkan sekumpulan data - data.

"Mungkin nggak sih Mas Ray resign?", tanyaku.

Kenyataannya pertanyaanku sukses membuat Mery mengalihkan perhatiannya. Dia mengernyit bingung.

"Maksudmu Mas Ray dibajak perusahaan lain?", Mery balik bertanya.

"Iya".

"Nggak deh kayaknya. Atau kamu tanya saja deh ke HRD, Bi! Daripada bingung sendiri", usul Mery.

"Ogahlah ya", jawabku.

Ku buka kembali semua chatku pada Mas Ray. Semua sudah centang dua. Tapi sayangnya masih belum centang biru. Artinya pesanku belum terbaca. Atau sebenarnya sudah.

Tapi Mas Rayyan bukan type orang yang akan dengan sadar mengutak - atik pengaturan pesannya untuk menyembunyikan notifikasi dia sudah membaca pesan yang dia terima atau belum. Jadi memang dia belum membacanya.

Kamu kemana sih Mas? Kamu resign beneran ya, batinku.

Ah masa bodoh dengan Mas Rayyan. Saat ini dia tidak masuk dan aku bisa sedikit bersantai.

Sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi dari ponselku. Dari mama.

Mama : Nanti malam telpon mama ya cantik.

Senyumku mengembang. Aku memang sudah lama sekali tidak menelpon mama. Terakhir beberapa hari yang lalu sebelum aku dinas ke Palembang. Ternyata aku sudah sangat rindu mama. Terlintas untuk pulang akhir pekan ini.

Dan hari ini aku berakhir dengan memesan tiket kereta ke Surabaya untuk jum'at malam.

"Tumben mau pulang. Kan nggak ada hari libur tambahan", kata Mery heran saat melihat layar komputerku menampilkan sebuah website agen perjalanan ternama.

"Kangen emak", jawabku.

"Gegayaan kangen emak. Mau lamaran ya, Bi?", tanya Mery menggoda.

Aku tertawa. Lamaran. Dia pikir semudah itu menerima lamaran orang? Kalau lelakinya shaleh punya kekayaan seperti Mr. Christian grey sih aku tidak keberatan.

Ku buka aplikasi perpesananku yang berlogo telpon berwarna hijau itu. Ku buka grup Oscar Mania.

Oscar Mania
Abigail : Naila, pekan ini gue pulang.
Abigail : Kita hangout ya😉
Naila : Tumben🙇
Laras : Naila kangen sama akang Zaman tu, Nail 😂
Naila : Sumpah
Naila : Demi apa loe kangen si Zamzam😱
Abigail : Sembarangan

Sumber gambar : pinterest.com, editted with canva


Mereka telah sangat tahu apa yang terjadi padaku dan Zaman dahulu. Sama tahunya dengan kemungkinan aku akan merindukan dia atau tidak. Tapi mereka tetap menggodaku seperti itu. Dasar mereka.

- To be Continue -

Love

Posting Komentar

0 Komentar