Aku baru saja tiba di Surabaya. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menikmati akhir pekan di kota ini. Cuaca panas dan macet lalu lintasnya membuatku rindu. Sangat.
Naila berjanji akan menjemputku di stasiun. Seharusnya dia sudah duduk manis di ruang tunggu sambil mengomel tidak jelas karena kelamaan disana.
Tapi jangan salahkan aku. Salahkan dirinya sendiri yang selalu berpendapat bahwa dia lebih baik menunggu daripada membuat orang lain menunggunya.
Tentu saja hal itu baik. Asal tidak dibarengi dengan keluhan dan omelan yang datang dari bibir manisnya. Meski yang ku tahu itu hanya sekedar ocehan penghilang rasa bosan.
Dan dia disana. Menunggu di ruang yang disiapkan pihak stasiun untuk pelanggan yang sekedar ingin memperoleh info mengenai jadwal kereta api atau kepentingan lainnya yang berkaitan dengan customer service.
"Nai, udah lama nunggu?", tanyaku begitu berdiri di sebelahnya.
"Udah mau lumutan aku disini, Bi. Lama banget sih?", omel Naila sembari memasukkan ponsel dalam tasnya dan berdiri memelukku.
"Ye, kan emang jadwalnya sampai sini jam 12an, Nai. Kamu aja yang kecepetan nyampai sininya", aku membela diri.
"Bodo ah. Hang out dulu ya!", pintanya sambil menggandengku menuju ke tempat mobilnya diparkir.
Aku menurut. Yang ku tahu dia adalah orang paling berpikiran positif yang pernah ku kenal. Tidak heran jika banyak sekali orang yang ingin memanfaatkan dia. Lebih - lebih dia punya modal yang cukup untuk itu.
"Kamu masih dekat sama Sultan, Nai?", tanyaku.
Sultan adalah seorang pemuda yang disukai Naila di tempatnya mengajar. Dia juga seorang guru seperti Naila. Aku pernah bertemu dengannya sekali sewaktu mengantar Naila membeli buku di gramedia.
Secara fisik dia terlihat oke. Ibadahnya juga tidak diragukan lagi. Naila tidak akan sejatuh cinta itu jika pemuda itu minus dalam ibadah.
"Ya gitu deh, Bi", jawabnya lesu.
"Lesu amat. Kenapa lagi?", tanyaku.
Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Naila begitu terpesona pada Sultan. Tapi sayangnya pemuda itu belum memberi kepastian apapun. Dia terlalu baik pada semua wanita. Dan tidak sedikit yang salah mengartikan kebaikan itu. Naila salah satunya.
Tak terhitung berapa kali aku dan Laras mengingatkan Naila masalah ini. Tapi dia tidak memperdulikan apapun. Dia hanya perduli pada perasaannya. Entah akan berbalas atau tidak.
Aku membuat ruang obrolan pribadi dengan Laras di aplikasi whatsapp.
[Ras, Naila lagi galau]
[Nggak heran]
[Gue serius, Ras.]
[Iya, Bi. Gue tahu.
Sultan nyuekin dia lagi kan?
Itu mah udah berita basi, Bi.]
[Ya hibur dong, Ras!
Masa kita diemin dia]
[Bodo, Bi
Naila begonya nggak ketulungan
Males gue]
Akhirnya aku dan Naila hanya mengelilingi tunjungan plaza. Mengunjungi setiap toko tanpa berniat membeli apapun. Setelah itu baru Naila mengantarkanku pulang.
=========
Mama memintaku mengenakan pakaian terbaikku. Katanya ada tamu yang akan berkunjung. Salah satu kenalan mama dan papa. Mereka akan makan malam disini bersama keluarga kami.
Aku langsung membayangkan cerita dalam novel - novel yang pernah ku baca. Permintaan mama mengenai pakaian, kenalan mama dan papa yang berkunjung dan meski aku yang memutuskan untuk pulang tapi papa seolah tetap ingin memaksaku pulang jika aku tidak berencana untuk itu. Sesuatu seperti perjodohan sedang direncanakan.
"Mikirin apa, Nak?", mama tiba - tiba masuk kamar.
"Mama dan papa lagi merencanakan sesuatu ya?", tanyaku curiga.
"Merencanakan apa?", mama balik bertanya.
"Mama dong yang jelasin sama Abi", jawabku.
"Mama sama papa nggak merencanakan apapun. Jangan mikir yang aneh - aneh. Ini bukan seperti dalam novel roman picisan yang suka kamu baca", omel mama membuatku mengerucutkan bibirku.
Mama tersenyum geli.
"Lagipula kalaupun memang mama merencanakan sesuatu memangnya kenapa? Kamu itu sudah waktunya menikah. Mau nunggu apa lagi sih, Nak", lanjut mama lagi.
"Nunggu yang kayak papa", jawabku spontan sembari memeluk mama.
"Papamu itu langka. Satu - satunya di dunia ini. Kamu cari yang lebih baik dari papa saja", ujar mama diakhiri gelak tawa riangnya.
Mama menggandengku ke luar dari kamar. Di ruang tamu ku lihat sesosok tubuh yang sepertinya ku kenali sedang duduk di hadapan papa bersama seorang wanita paruh baya.
Tapi tentu saja dia tidak mungkin orang yang sedang ku pikirkan saat ini. Lagipula ada urusan apa juga mas duda ke rumahku. Dia kan sedang dalam mode menghilang.
"Nai, sini duduk dekat papa, Nak!", pinta papa. "Ada seorang yang ingin papa kenalkan!"
Aku mendekat. Saat itulah aku bisa menatap wajah itu. Sosok yang sudah tiga hari ini cuti. Membuatku kelimpungan di kantor bagai anak ayam kehilangan induknya.
"Lho mas Rayyan, ngapain disini?", tanyaku sinis.
Wajahnya menerbitkan senyum tanpa berdosa padaku. Hanya sekilas. Sampai rasanya aku seperti berhalusinasi saja melihat senyum itu. Andai aku bukan kacungnya ingin rasanya kuremas bibir itu.
"Kamu sudah kenal mas Rayyan, Bi?", tanya papa padaku.
"Mas Rayyan bos Abi di kantor, Pa", jawabku.
"Bagus. Jadi mas Rayyan kemari beberapa hari lalu ingin melamarmu. Apa kamu tidak keberatan dipinang oleh Nak Rayyan?", tanya papa santai.
Pertanyaan yang berhasil membuatku melotot horor ke arah papa. Dipinang? Dilamar maksudnya? Oleh orang aneh ini?
"Nggak usah lebai begitu kalau kenyataannya kamu seneng", goda Papa.
Wow, ada apa ini? Tumben papa menggodaku begini. Biasanya papa menjadi satu - satunya orang yang mendukungku berkelit dari lamaran seseorang. Sudah dikasih jampi - jampi apa Papa sama duda ini?
"Nggak usah sok - sok godain Abi deh, Pa", rajukku.
Mama tertawa cekikikan melihatku merajuk. Wanita paruh baya di sebelah Mas Rayyan juga tersenyum. Duda itu jangan ditanya. Dia menahan senyumnya. Lebih mirip seperti ejekan.
"Jadi bagaimana?", tanya papa.
Ini bukan mimpi kan? Mas Rayyan, orang paling aneh sekantor Bumi Agro Lestari kemari. Ke Surabaya. Bolos tiga hari. Dicari hampir semua umat finance. Dan dia datang untuk melamarku.
Tanpa informasi apapun. Menyiapkan sesuatu yang membuatku syok begini.
Good Mas Ray. Anda berhasil membuatku tak bisa berkata - kata.
Bukannya aku tidak senang dengan kenyataan ini. Aku menyukai Mas Rayyan di luar sikapnya yang sok bossy. Hanya saja ini seperti mimpi. Akan seperti apa hubungan kerjaku dengannya setelah ini?
Tapi dia kan duda, seru suara hatiku.
Memang kenapa kalau duda? Dia kan sholeh. Toh aku sudah sering membayangkan dia jadi imamku, ucap suara hatiku yang lain.
"Katanya kamu sudah lama bekerja sama dengan mas Rayyan ini, Bi. Kamu pasti sudah mengenal masnya kan?", papa bertanya sekali lagi.
Aku tidak berani menatap mas Rayyan. Selalu begitu. Bahkan di rumahku sendiri. Tempat yang seharusnya menjadi wilayah kekuasaanku.
"Pa", ucapku sambil menatap wajah tegas yang sudah mulai renta itu.
Aku tahu sekali, kalaupun kali ini aku menolak papa akan menjadi benteng pertahananku. Sekalipun mama menjadi musuh yang akan berusaha meruntuhkan benteng itu.
"Iya sayang. Papa tidak akan memaksa jika kamu belum bersedia", ujar papa sembari mengelus pipiku.
Rasanya aku ingin menangis. Jangan ditanya bagaimana raut wajah mama. Kalau saja bisa mungkin mama ingin mengomeliku. Beliau pasti merasa kalau kali ini aku akan menolak lamaran lagi. Seperti yang sudah berlalu.
"Kalau papa setuju, Abi nggak akan menolak kali ini", jawabku akhirnya.
Mama takjub. Jelas beliau tidak berani membayangkan putrinya akan menyetujui semudah ini. Tapi keputusan sudah diambil.
Di tengah euphoria kebahagiaan kedua orang tuaku, aku melirik ke arah mas Rayyan. Raut wajahnya seolah menunjukkan kelegaan. Bahkan seorang ibu yang duduk disisinya tersenyum lebar ke arahnya.
Malam ini, segalanya telah diputuskan. Acara pertunangan akan dilangsungkan dua bulan lagi. Dan kami sepakat urusan ini akan diatur oleh orang tua kami.
Jadi sebentar lagi aku akan menikah. Dengan Mas Rayyan. Duda yang terlalu dingin jika berurusan dengan perempuan selain urusan kantor?
Oh Tuhan selamatkan aku dari kebekuan ini. Hangatkan hatinya, Tuhan, pintaku.
- To Be Continue -
With Love
18 Komentar
Keren menikah dengan duda? Aku menikah dengan duda saat diriku janda wkwkwk
BalasHapusWah, bagaimana dulu prosesnya kak?
HapusWah seru nih, baru baca part ini. Tadi sempet terkecoh dengan nama Abi, ta kira Abi cowok. Hehe. Penasaran juga akan kah pertunangan dan rencana pernikahannya berjalan lancar? hihiw
BalasHapusTerima kasih kak Mira sudah mampir di blog ini... Hehehe
HapusWihh, akhirnya tunangan juga sama Si Dingin, kikiki. Lanjutannya bakalan seru nih. Kira-kira, bisakah Si Duda Keren Mencair nantinya? Hahaha.
BalasHapusTerima kasih sudah mampir di cerita ini kak. duda keren yang dingin itu keren kan kak? Hehehe
HapusKira-kira endingnya jadian gak ya dengan Mas Duda yang saleh tersebut? Tunggu di episode berikutnya....
BalasHapusKelanjutannya akan terus di posting di blog ini ya kak... Silahkan stay tune, Hehehe
HapusSepeeti yang kuharapkan, Abi dengan Mas Rayyan.
BalasHapusEtapi jangan kegeeran dulu sebelum janur kuning melengkung ada banyak hal bisa terjadi
Duh!
Semoga enggak ya.lancar jaya sampai ke pernikahan mereka...
Hehehe...
HapusTerima kasih sudah mau mampir di blog ini kak.
Ditunggu saran dan kritiknya.
Ngefiksi nih Mbak Yuni. Cakep. Ceritanya mengalir banget. Aku jadi penasaran gimana ya lanjutan proses pernikahan abi dan Rayyan ya?
BalasHapusTerima kasih kak..
Hapusuntuk update selanjutnya akan ada terus di blog ini ya kak...
Hehehe
Wah, saya ketinggalan cerita, nih. Rupanya ada cerbung di blog Mbak Yuni :)
BalasHapusIdenya bagus, nih. Menikah dengan duda, why not?
Lalu saya jadi penasaran dengan lanjutan kisah Naila.
Idih, Naila nanti ya kak. Habis kelar cerita ini dulu. Hehehe
HapusBentar²...aku loading dulu nih...kisah terakhir aku baca sampai mana ya? Wkwkwk...
BalasHapusPenasaran nih, akhirnya bener menikah ga ya?
Baca dulu dong kisah sebelumnya kak. ada kok di blog ini. hehehehe
HapusWahh kenapa sering menolak lamaran? Lahh kenapa sekarang jadi mau terima lamaran, hanya krn khawatir mama marah?
BalasHapusYeay ... gmn kelanjutannya mbak?
Hehehhe,,,, hanya Abigail dan Rabbnya yang tahu.
HapusTerima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.