Masuk Pesantren



Lisa POV
       Pondok Pesantren Al Hasyimiyah
       Begitulah plang nama sebuah tempat yang kata mama - papa bagus dan akan menjadi tempatku belajar di masa – masa SMAku. Memang benar secara kasat mata tidak ada yang salah dengan tempat ini. Bahkan kata papa pesantren ini memiliki lembaga pendidikan umum yang lengkap mulai dari tingkat pendidikan di bawah umur sampai dengan pendidikan pasca sarjana. Menurutku itu keren kecuali bahwa aku akan menjadi seorang santri yang secara tidak langsung akan terkurung dan dikucilkan dari sosialita pergaulanku selama ini. Dan itu sama sekali jauh dari kata keren.
      Ini adalah masa penerimaan santri dan siswa baru. Jadi sangat wajar ramai sekali orang tua yang mendaftarkan anak – anak mereka disini, termasuk mama papaku. Mereka sangat terobsesi sekali ingin aku masuk sekolah disini. Aku sampai harus merelakan semua pakaian kesayanganku yang sangat tidak pantas dipakai di lingkungan ini. Yah, aku harus berganti gaya berpakaian menjadi tertutup dengan pakaian lengan panjang, rok terulur sampai menutupi mata kaki (tentu saja ini membuatku ribet) dan jangan lupakan hijab yang sampai menutup dada (sangat mama sekali).
          “Jangan cemberut gitu dong sayang! Mama yakin kamu pasti suka disini”, kata mama. Aku tau itu hanya sebuah kata – kata penghiburan. Darimana nyonya Sena ini tau kalau aku akan menyukai tempat ini, belum apa – apa aku sudah dipaksa merubah gaya yang bukan diriku sekali. Dan kalau boleh jujur, aku tidak menyukai penampilanku yang sekarang.
          Segala urusan administrasi santri baru sudah mama selesaikan. Akupun sudah menerima starter kit santri baru yang ketika ku baca sekilas membuat kepalaku pening. Bagaimana tidak, didalamnya dijelaskan segala peraturan pesantren, apa saja yang harus dipatuhi, apa saja yang tidak boleh dilanggar dan apa saja hukumannya. Aku jadi bertanya – tanya bisakah aku bertahan selama tiga tahu disini?
          “Maaf menunggu lama, bu. Mari saya antar ke kamar dek Lisa”, kata ustadzah Salwa.
          Kami diantar ke sebuah gedung dengan deretan kamar – kamar panjang. Di ujung gedung itu ada plang bertuliskan Gang D. Ustadzah Salwa mengantar kami ke kamar dengan no D4 yang sepertinya memang khusus untuk santri – santri baru.
          “Jadi dek Lisa akan menempati kamar ini. Dan ini lemari kamu, dek”, ujar ustadzah Salwa.
          Oh ayolah, ini hanya sebuah loker kecil. Bagaimana bisa loker begini disebut lemari?
          Setelah mengantar kami ke kamar D4 ini, ustadzah Salwa meninggalkan kami. Aku menghembuskan napas kasar. Tidak ada lagikah yang bisa ku lakukan untuk membawaku pergi dari tempat ini?
          “Senyum dong sayang! Cemberut aja dari tadi. Liat dong kamarnya luas begini”
          Yah kamar ini luas sekali. Tapi sepertinya mama melupakan hal lainnya. Ada beberapa anak seusiaku yang sudah ada disini dan loker – loker itu bukan hanya ada 1 tapi ada 3 loker dimana masing – masing loker ada 10 bilik yang mereka sebut lemari. Jadi praktis sepertinya kamar seluas ini diharapkan bisa menampung 30 anak termasuk aku. Itu berarti 1 hal, kamar ini akan menjadi sangat sempit sekali.
          “Ma, ini beneran aku harus disini ya? Apa nggak bisa aku sekolah di tempat bang Rafan aja, Ma”, bujukku. Ku harap nama bang Rafan bias membuat mama kembali mempertimbangkan keinginanku.
          “Nggak bisa dong dek. Pendaftaranmu disini sudah beres semua lho dan sebentar lagi kamu sudah harus ikut orientasi kan?”
          “Tapi kan sekolah bang Rafan masih buka pendaftaran, Ma”
          “Dan buang – buang uang yang sudah mama – papa keluarin untuk pendaftaran kamu disini?”
          “Mama kok jadi lebih mentingin uang ketimbang kenyamananku?”
          Aku tahu, mama sudah lelah menghadapi rengekanku. Tapi tentu saja aku tidak bias menyerah begitu saja kan? Ini bukan pilihanku. Masuk pesantren tidak pernah ada dalam bayanganku. Dan harusnya mama – papa tahu, meski mereka berdua lulusan pendidikan disini bukan berarti mereka bisa mengatur pendidikanku juga alih – alih mengatakan untuk kebaikanku.
          “Mama dan papa sudah carikan sekolah yang bagus untukmu, dek”
          “Sekolah bang Rafan kan juga bagus, Ma. Mama dan papa nggak mungkin mengijinkan bang Rafan sekolah disana kalau sekolah itu nggak bagus”
          “Memang benar sekolah abang bagus. Tapi mama lebih tenang kalau kamu disini sayang”
          “Tapi, Ma”
          “Lisa. Ini kamu belum coba sekolah disini lho. Kenapa nggak coba dulu sih sebelum komentar macem – macem?”
          “Adek nggak komentar apapun kok”
         “Intinya adalah kamu harus sekolah disini. Nggak ada perdebatan lagi. Ayo sudah kita temuin papa dan abangmu!”
         Fix. Mama tidak bisa lagi dibujuk. Kalau sudah begini membujuk papa juga tidak akan menghasilkan apapun. Meski aku seorang princess bagi papa, tapi tetap saja mama adalah queen. Pesona seorang princess akan selalu kalah di mata King. Papa terlalu mencintai mama. Dan sudah pasti aku tidak akan bisa melakukan apapun untuk membujuk papa agar berada di pihakku dan membawaku pergi dari pesantren ini.
      Aku tidak pernah membayangkan harus masuk pesantren. Karena itu aku sudah merencanakan akan masuk sekolah yang sama dengan teman – temanku. Melakukan hal – hal yang menyenangkan selama SMA. Membuat sebuah kenangan yang mungkin akan terasa manis setelah waktu melesat cepat di masa depan. Dan jangan lupakan mengalami cerita cinta atau bahkan bertemu jodoh. Dan masuk pesantren benar – benar membuyarkan segalanya. Menyebalkan sekali.

Posting Komentar

0 Komentar