Author : Sri Wahyuni
Siang itu, satu jam sebelum janji pertemuan dengan Anida di salah satu restoran yang menyediakan makanan junc food. Aku mengambil tempat di sudut ruangan persis menghadap pintu masuk resto. Tidak ada yang berubah dari restoran ini sejak beberapa tahun lalu. Sudut ini masih tetap sama, hening.
Pesananku fantafloat dan kentang goreng. Makanan dan minuman itu mungkin cukup mengumpulkan kembali puing kenangan sebelum akhirnya bertemu dengannya dan membuka kembali kenangan lama yang ingin aku lupakan.
Beberapa tahun lalu, aku telah melupakan detail waktunya, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan dia. Disini, di sudut yang sama tempatku duduk kali ini.
Waktu itu aku sedang kalut mempersiapkan sidang skripsiku. Tidak ada yang salah dengan bahan materinya. Semua sudah sesuai petunjuk dan arahan dosen pembimbing. Masalahnya hanya terletak padaku. Aku yang selalu tidak percaya diri berbicara di depan umum dalam situasi formal. Dan sidang skripsi sama sekali bukan situasi yang yang mendukungku kali ini.
Saat itulah dia masuk ke resto ini. Memesan big mac, kentang dan fantafloat, minuman yang sama dengan yang ku pesan. Awalnya dia akan memilih meja yang ada di hadapanku. Namun saat netranya menangkapku di sudut ruangan, ntah apa yang ada dipikirannya saat itu, diapun berjalan menghampiriku. Pandangan matanya tajam, senyumnya ramah, penampilannya tidak bisa dibilang rapi meski dia juga bukan seorang yang terlihat selengek an. Aku tidak sadar telah memperhatikannya selama dan sedetail itu.
"Boleh duduk disini. Ku pikir akan lebih menyenangkan jika ada yang menemani makan"
Aku mengangguk. Ku pikir tidak ada salahnya sedikit menghabiskan waktu bersamanya selagi menenangkan pikiran. Toh dia cukup rupawan.
Ternyata dia cukup supel dan mudah bergaul. Dari perbincangan singkat itu, aku tau dia sudah menyelesaikan kuliahnya di universitas yang sama denganku. Aku tak ingat pernah bertemu dengannya karena memang dia tidak satu fakultas denganku. Saat itu dia bekerja di salah satu perusahaan percetakan sebagai seorang editor. Sungguh menyenangkan berbincang dengannya. Meski itu hanya perbincangan sesaat. Sebelum berpisah kami sempat bertukar kontak untuk bisa saling menyapa kembali. Bang Edo begitu dulu aku memanggilnya. Bahkan mungkin hingga kini jika aku bisa bertemu dengannya.
Lalu kemudian aku wisuda. Moment ini mungkin cukup spesial, karena dia bersedia datang untuk mengucapkan selamat padaku. Tidak seperti yang lain yang mengundang pasangan ke acara ini, saat itu aku sama sekali belum punya prospek untuk memiliki pasangan. Aku akui aku memang gadis yang cukup manis. Tapi aku sama sekali bukan gadis yang menarik. Sedikit aneh dengan dia yang mau bersedia hadir memberi selamat padaku.
"Dia sedang apa disini, Meg?" Pertanyaan Dori, sahabatku yang sempat terlontar kala itu. Aku tau dia juga heran dengan kehadirannya di hari wisudaku. Tapi ku yakinkan padanya bahwa dia hanya ingin mengucapkan selamat padaku.
"Berhati - hatilah menghadapinya, Megan." Dori memang cukup terkenal di kampus. Dia gadis yang pintar, periang dan cantik. Banyak mahasiswa yang suka padanya. Bahkan seorang dosen muda juga menaruh hati padanya.
Saat itu aku tak tau maksud peringatan Dori. Mengapa aku harus berhati - hati dengan Bang Edo yang menurutku baik. Sungguh aku tak memahaminya waktu itu.
Hari - hari selanjutnya, aku dan Bang Edo jadi lebih sering berkomunikasi. Via chat atau telpon. Hanya hal - hal sepele yang kami bahas. Tempat nongkrong favorit, makanan dan minuman kesukaan, genre film yang kami sukai malah tak jarang kami pergi ke suatu tempat yang baru bersama.
Aku mulai terbiasa dengannya. Lebih sering aku yang mulai menghubunginya. Seperti model piramida, hubungan kami benar - benar berada di puncak setelah aku wisuda. Meski kami tidak bekerja di satu lingkungan yang sama, jika sempat Bang Edo akan mengantarku lebih dulu ke tempat kerjanya.
Di tahun kedua, aku mulai bingung dengan hubungan ini. Disebut apa sebenarnya status kami. Masih teringat jelas kegelisahanku kala itu. Bertanya - tanya bagaimana sebenarnya perasaan Bang Edo padaku. Sukakah? Kemudian aku mulai tergoda untuk memperjelas hubungan kami. Karena seperti Dori yang akhirnya berpacaran dengan dosen muda itu, aku juga ingin punya pacar. Terlebih lagi, aku sudah menyukai Bang Edo.
"Kamu yakin dengan perasaanmu padanya, Meg. Kamu belum tau bagaimana dia, Megan" itu peringatan Dori kedua setelah acara wisudaku. Selama ini saat aku menceritakan semua kegiatanku dengan Bang Edo padanya, Dori hanya berusaha menjadi pendengar setia.
Saat itu aku mengabaikan kekhawatiran sahabatku. Aku keukeuh ingin memperjelas bentuk hubungan ini. Mulailah aku mencari tau. Sibuk memperhatikan bang Edo. Meski aku sadari kami lebih banyak berkomunikasi di dunia maya daripada di dunia nyata. Dia selalu sibuk.
Hingga suatu hari, seseorang datang menemuiku. Anida namanya. Seorang gadis manis, tidak terlalu tinggi dan menarik. Dia memperkenalkan dirinya sebagai teman kerja Bang Edo. Bertanya banyak hal tentang ku termasuk hubungan absurb ku dengannya. Menurut Anida, bang Edo sudah seperti kakak baginya. Jadi saat ada seorang gadis yang dekat dengannya dia merasa harus dekat dengan gadis itu. Aku tidak keberatan. Toh dengan begitu aku jadi tau kepada siapa aku harus bertanya tentangnya.
Lambat laun Anida mulai tidak asyik. Dia terlalu banyak ingin tau tentang kami. Hubungan yang bahkan belum jelas akan kemana ini.
Lima belas menit sudah berlalu, masih ada 45 menit lagi sebelum Anida datang. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Ntah seperti apa dia saat ini. Apa dia masih terlihat manis? Apa dia masih semenarik dulu? Atau pesonanya semakin bertambah lagi? Ntahlah. Aku enggan memikirkannya. Buat apa? Toh aku bukan penyuka sesama jenis.
Anida, seorang yang katanya sudah menjadi seorang adek bagi Bang Edo. Harusnya dulu aku menyadari, tidak ada namanya adek jika tidak sedarah. Bagaimana bisa aku sebegitu bodohnya tidak menyadari permainan mereka.
Yah, Anida memainkan perannya begitu apik. Aku tak pernah menyadari kalau ternyata di balik hubungan yang hanya seorang abang - adek itu ada hubungan lain yang lebih dalam. Susah payah aku berusaha mengetahui perasaan Bang Edo padaku. Hanya untuk mendapati kenyataan bahwa aku bukan pilihan pertamanya.
"Harus serendah apa lagi kamu buat dirimu dimata Edo, Meg? Kamu sudah aku peringatkan sejak lama. Dia itu tidak sebaik yang kamu pikirkan, Megan" itu omelan Dori tatkala aku menangis sesenggukan setelah ditolak Bang Edo. Yah, Bang Edo menolak ajakanku untuk membawa hubungan kami ke arah yang lebih serius.
Setelah menolakku, Bang Edo masih juga sangat baik padaku. Masih membalas setiap pesanku. Dan masih menerima setiap panggilanku. Dia masih bersikap seolah tidak ada penolakan itu. Masih terlihat menyayangiku. Tapi kali itu aku sudah tau, ada gadis lain yang juga diperlakukan sama. Gadis lain yang jauh lebih menarik dariku. Anida.
Pada akhirnya aku menyadari, aku tidak akan bisa menang dalam kompetisi ini. Dari segi apapun aku jauh di bawah Anida. Dengan kesadaran itu aku memilih menerima pekerjaan di kota lain. Meninggalkan kampung halaman dan memilih hidup jauh dari orang - orang yang menyayangiku juga orang yang saat itu masih aku sayangi. Bang Edo.
Semua perasaan yang pernah aku rasakan pada Bang Edo. Semua kejadian yang aku alami karena rasa itu, hanya kenangan yang tidak lagi terasa menyakitkan jika dipikirkan saat ini. Yah, kenangan itulah yang akhirnya membuatku mengecap bahagia saat ini. Meski itu harus aku dapatkan dari terjalnya jalan kenangan yang harus aku lewati. Beratnya hidup jauh dari dua orang yang menyayangi tanpa syarat, tanpa batas dan tanpa meminta balasan.
Yah kini aku kembali. Ke kota yang penuh dengan napak tilas masa lalu yang indah namun berakhir tragis kala itu. Semua telah berlalu. Masa itu hanya tentang kenangan yang mau tidak mau harus ku terima. Karena sebenarnya dengan menerimanya dengan kelapangan hati, maka semua tidak terasa menyakitkan lagi.
Memikirkan itu tak terasa sekelabat bayangan seorang wanita mendekat ke mejaku. Penampilannya jauh lebih menarik, dengan gamis dan kerudung lebarnya. Lebih manis dan teduh kelihatannya. Dia banyak bercerita tentang kehidupan mereka setelah kepergianku. Bagaimana megahnya pernikahannya dengan Bang Edo. Bagaimana kelucuan putra - putri mereka. Dan bagaimana keadaan dia saat ini.
Terakhir ku dengar kabar, Bang Edo telah menikahi wanita lain. Dan dari yang terlihat Anida sungguh tidak memiliki beban apapun. Namun siapa yang tau hati manusia.
Sungguh, tak pernah terlintas di benakku untuk berbagi cinta dan kasih sayang suami dengan wanita lain. Tidak dulu ketika aku begitu menyayangi Bang Edo. Tidak sekarang ketika aku bisa menyaksikan sendiri bagaimana tegarnya seorang Anida menghadapi pernikahan kedua Bang Edo. Tidak juga selanjutnya. Bagiku Mas Rama adalah satu - satunya surgaku. Seorang yang ridhonya mesti aku dapatkan bagaimanapun caranya. Dan beruntungnya aku, karena aku juga satu - satunya wanita di hidup mas Rama selain ibunya.
14 Komentar
Cinta yang tak sampai ternyata memang mendatangkan hikmah dari cerita ini. Dan, saya yakin, ada kisah yang nyata seperti itu. Cinta yang sebenarnya memang dengan pasangan hidup kita, walaupun mungkin dia tidak sempurna, tetapi bisa jadi yang lain lebih cantik. Lah...
BalasHapusAh... masa muda. Bersyukur banget Megan akhirnya memilih jalan yang tepat. Tak apa mengingatnya kembali, atas nama kenangan. Biarkan jadi salah satu babak kehidupan, ambil indahnya, lupakan pahitnya. Jadikan pelajaran untuk melangkah ke depan
BalasHapusDalam banyak kasus, cerita kayak gini akan berakhir tokoh utama perempuan menikah dengan laki-laki lain yang lebih baik. Hihihi. Banyak bangettttt orang kayak Edo ini di dunia nyata. Aku setuju, enggak ada yang namanya hubungan kakak adek kalau tak ada hubungan darah. Apalagi kalau dekettttt banget. Itu gak ada. Pasti salah satunya main hati.
BalasHapusAlur ceritanya bikin penasaran untuk membaca sampai akhir. Endingnya jleb banget. Untung yah...kasih tak sampai tetapi malah mendapatkan yang lebih baik. Setuju banget sih kalau jodoh itu rahasia Allah swt...
BalasHapusSenengnya jadi Bang Edo. Dekat yang jadi semakin memikat..hehe..
BalasHapusSaya jadi bersimpati pada Anida, ia adalah representasi dari wanita tegar yang memilih bertahan dan rela berbagi suaminya
BalasHapusCerita yang menarik, sepertinya di kehidupan nyata ada cukup banyak orang yang menghadapi masalah yang sama
BalasHapusMasa muda banyak memberikan kita berbagai kenangan ya mbak. Termasuk yang Megan alami dalam cerita ini. Walau mungkin ini kisah fiktif namun sangat real dengan kehidupan sehari-hari
BalasHapusCerpen tentang cinta ya, patah tapi akhir ceritanya enggak diduga ya. Kalau di dunia nyata ya itu udah jalan terbaiknya Allah ya, akhirnya dibuat bersyukur kalau enggak berjodoh
BalasHapusIni cerpen tapi bacanya kayal kisah nyata mungkin karena banyak kasus juga kayak gini, didekati sama cowok tanpa kejelasan, bersyukur si tokoh "aku" tidak larut dengan perasaannya hingga menemukan jodohnya yang tepat. Eh saya malah kaget dengan endingnya, sama si Anida yang rela suaminya menikah lagi dengan wanita lain
BalasHapusJadi mas Rama juga bukan pilihan pertama darimu Megan. Eh kok malah ke situ. :) Baiklah, kisah berbagi suami ini beneran yak. Aku ngga habis pikir kok bisa pada jalan damai antara satu istri dengan lainnya. Lha aku ada 1 aja galaknya ngga karuan, tapi dia sayang aku, sih. ahahaha.
BalasHapusPatah hati jadi salah satu yang memantik kita untuk berkarya, eaa, begitu deh kira2 pesen dari Raditya Dika wkwk.. patah hati terbaik bisa bikin kita jadi lebih baik
BalasHapusBagi saya, cinta itu harus memiliki. Untuk cinta duniawi, bukan memiliki fisik, tapi memiliki status, sebagai wujud kemelekatan. Kalau tidak mau diajak serius hidup bersama, memang biasanya tidak cinta. Seperti cerita di sini. Meskipun cerpen, namun sering terjadi di dunia nyata.
BalasHapusWah, ceritanya merita bagus banget, kalau di real life bisa dilihat banyak banget yang merasakan masalah yang sama xD seneng bacanya
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.